Sastrawan Internasional : Puisi Sukmawati Soekarnoputri Langgar Rambu-Rambu Puisi

Sastrawan Internasional : Puisi Sukmawati Soekarnoputri Langgar Rambu-Rambu Puisi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Ahmadun Yosi Herfanda

www.gelora.co - Sastrawan Internasional, Ahmadun Yosi Herfanda yang terkenal dengan penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) memandang puisi yang dikarang dan dipersembahkan oleh Sukmawati Soekarnoputri pada Minggu (1/4) di Indonesian Fashion Week telah melanggar rambu-rambu puisi.

"Tentu dalam menulis puisi, juga menulis genre sastra yang lain, selalu ada etika, salah satunya tidak boleh menyulut sentimen suku, agama, dan ras (SARA), jadi yang dilakukan Bu Sukma ini jelas melanggar rambu-rambu dasar yang patut nya ditaati," ujar Ahmadun Yosi Herfanda kepada Kantor Berita Politik RMOL awal pekan ini. 

A.Y. Herfanda menjelaskan bahwa puisi yang dibawakan Sukmawati Soekarnoputri tersebut memang merupakan jenis puisi kritik perbandingan namun perbandingan yang dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri ini sangat tidak wajar dan sembrono.

"Perbandingan antara tradisi budaya (kidung) dan agama (adzan) yang dilakukan Bu Sukma ini tentu bukan kewajaran, melainkan kesembronoan," papar A.Y. Herfanda.

Ia juga menambahkan bahwa simbolisasi "Ibu Indonesia" dalam puisi Sukmawati Soekarnoputri tersebut sangat kurang pas mengingat bahwa dalam puisinya imaji mengenai "Ibu Indonesia" dipersempit yaitu terbatas pada gambaran wilayah Jawa saja.

"Ibu Indonesia itu kan multi-kultur, coba kita simak sejarah dan tradisi para perempuan pejuang Indonesia dari Sabang sampai Meraku? Apakah tampilan pejuang perempuan kita, seperti Tjut Nya Dien (Aceh), Hj. R. Rasuna Said (Jawa), Opu Daeng Risodju (Sulawesi Selatan), dan lain-lain, berkonde? Keseharian Tjut Nyak Dien dan Opu Risadju berkerudung. Begitu juga Hj. Rasuna Said. Berkerudung. Apakah mereka bukan ibu Indonesia? Jelas, mereka juga ibu Indonesia. Jadi, tampilan perempuan berkonde, atau perempuan yang membuarkan rambutnya terurai, hanyalah tampilan sebagian perempuan Indonesia. Jadi, lagi-lagi, Sukmawati juga perlu belajar tentang realitas Ibu Indonesia yang bhineka itu. Jangan hanya terpesona pada konde, atau rambut yang terurai," papar A.Y. Herfanda.

Dalam kasus ini, A.Y. Herfanda mengharap Sukmawati Soekarnoputri untuk dapat lebih berhati-hati lagi dalam melakukan kritik atau perbandingan, jangan sampai maksud baik justru mengundang perpecahan yang tidak perlu.

"Pahami masalah secara benar sebelum menulis puisi, agar dapat memilih ungkapan-ungkapan yang lebih pas. Jangan sampai maksudnya baik malah mengundang kemudharatan atau perpecahan yang tidak perlu," imbuhnya. [rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA