Jawaban Kementerian Keuangan terhadap Kritik Rizal Ramli Menuai Polemik

Jawaban Kementerian Keuangan terhadap Kritik Rizal Ramli Menuai Polemik

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Kritik ekonom senior Rizal Ramli terhadap utang luar negeri Indonesia, yang ia sebut sudah ”lampu kuning” dan ”gali lubang tutup jurang”, terus menuai reaksi.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti bahkan sampai menulis kolom khusus untuk menanggapi kritikan pedas mantan Menko Perekonomian di era Kepresidenan Abdurrahman Wahid itu.

Seperti diketahui, kritik Rizal Ramli (RR) dilontarkan sebagai respons atas pengumuman Bank Indonesia bahwa utang luar negeri Indonesia tahun 2017 mencapai lebih dari Rp 4.000 triliun.

RR lalu mengingatkan jumlah utang luar negeri itu sudah ”lampu kuning”. Ia juga menyebut upaya pemerintah sudah ”gali lubang tutup jurang”, dengan indikator keseimbangan primer (primary balance) negatif. ”Artinya, sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan utang baru,” ujarnya.

Selain itu, lanjut RR, Debt Service Ratio (DSR) terhadap kinerja ekspor juga turut berkontribusi pada kurang produktifnya utang luar negeri Indonesia. DSR Indonesia kini sudah menyentuh 39 persen.

Kemudian, tax ratio baru sebesar 10,4 persen, lebih rendah dari sejumlah negara di ASEAN. ” Tax ratio hanya 10 persenan karena pengelolaan fiskal tidak prudentalias ugal-ugalan,” jelas RR.

Indikator lain adalah trade account, service account, dan current account yang semuanya negatif, di samping faktor US Fed Rate.

”Itulah salah satu alasan utama kenapa kurs rupiah terus anjlok,” urai RR, seraya menyebut klaim Istana yang mengaku telah mengelola makro ekonomi dengan hati-hati, sangatlah jauh dari fakta lapangan.

” Bokis (bohong) amat,” cetus ekonom yang sempat bergabung di Kabinet Kerja Jokowi sebagai Menko Kemaritiman.

Indonesia Investment Grade

Selaku Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti membandingkan tudingan RR tentang utang yang lampu kuning dengan fakta bahwa, pada saat yang sama, semua lembaga pemeringkat (Moodys, Fitch, S&P, JCRA dan Rating & Investment) menyatakan Indonesia adalah investment grade.

”Bukankah bila menggunakan standar perbandingan antar negara-negara di dunia, Indonesia memiliki rasio utang terhadap PDB dan defisit APBN yang relatif kecil dan hati-hati? Mengapa (RR) menolak menggunakan indikator yang dipakai untuk membandingkan antara negara? Mengapa alergi dan protes bila Indonesia disebutkan dalam situasi baik oleh lembaga- lembaga internasional. Itu ibarat pepatah ’buruk muka cermin dibelah’,” tulis Nufransa.

Nufransa juga menolak istilah RR tentang ”gali lubang tutup jurang”. Ia menyebut, pemerintah justru terus melakukan penurunan defisit APBN dan primary balance. Sejak 2012, pemerintah sudah mengalami defisit keseimbangan primer.

Primary balance tertinggi terjadi pada 2015 (Rp -142,5 triliun) dan 2016 (Rp -125,6 triliun), justru pada saat RR menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi.

Dengan pengendalian tren negatif yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani secara hati-hati sejak pertengahan 2016, lanjut Nufransa, dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan defisit akan makin mengecil dan primary balance makin seimbang, bahkan mencapai surplus.

”Mengapa arah yang baik dan prudent tersebut justru dikritik dan dituduh ugal-ugalan?” ujarnya.

Selain itu, ”Bukankah yield surat utang pemerintah pada 2016-2017 justru menurun sewaktu US Fed Rate meningkat tiga kali? Mengapa fakta itu tak pernah disebutkan?”

Nufransa juga menyoroti perihal trade account, service account dan current account, yang disebut RR semuanya negatif. Kata dia, kondisi negatif tersebut terjadi juga semasa RR masih menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi.

Nufransa memastikan, pemerintah sekarang memusatkan perhatian untuk memulihkan ekspor dan investasi melalui berbagai kebijakan, baik insentif fiskal, penyederhanaan perizinan, juga kemudahan dan perbaikan pelayanan ekspor impor.

Sementara, terkait pelemahan rupiah terhadap dolar AS, Nufransa menyebut hal itu lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal.

Pelemahan nilai mata uang hampir terjadi di semua negara Asia, disebabkan adanya rencana kenaikan suku bunga The Fed oleh Gubernur Bank Sentral AS yang baru, serta rencana proteksi perdagangan oleh Presiden Trump.

Selanjutnya mengenai Debt to Service Ratio (DSR) yang merupakan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara, menurut Nufransa, datanya tidaklah setinggi pernyataan RR.

Pada 2017 misalnya, DSR tercatat 34,2%, bukan 39% seperti disampaikan RR. ”Peningkatan DSR bukan karena biaya bunga yang tinggi, tapi lebih kepada cicilan pokok utang jatuh tempo yang agak besar pada 2018,” tulisnya.

Ramalan RR Terbukti Benar

Ibarat berbalas pantun, penjelasan Nufransa Wira Sakti langsung mendapat respons bertubi. Mulai dari warganet hingga kalangan ekonom. Suara warganet terbelah.

Khusus yang kontra, umumnya menyarankan Nufransa – yang notabene berlatarbelakang studi IT – untuk tidak ikut menanggapi masalah perekonomian yang bukan kompetensinya, meski ia bekerja di Kemenkeu.

Tanggapan kritis disampaikan peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra. Ia antara lain mengajak Nufransa untuk mengkilas balik situasi menjelang krisis finansial 1997-1998, di mana saat itu seluruh lembaga pemeringkat juga memberikan investment grade pada Indonesia.

Standard & Poor’s pada Desember 1997 memberikan rating BBB-, Moody’s memberi rating Baa3. Fitch pada Juni 1997 memberi rating BBB-.

Tidak hanya itu. Pada 1997, seluruh ekonom di lembaga pemerintah, termasuk juga para ekonom asing, meramalkan perekonomian Indonesia sehat-sehat saja.

”Hanya ada satu ekonom Indonesia yang kritis terhadap rentannya situasi internal perekonomian Indonesia, dan kemudian ramalannya terbukti benar. Ekonom tersebut adalah Rizal Ramli,” ujar Gede.

Secara khusus, Gede menyoroti perihal rasio utang yang lebih tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Sejak 1990-an, kata dia, rasio utang yang secara internasional digunakan untuk menggambarkan keberlanjutan utang eksternal negara-negara berpendapatan menengah ke bawah adalah debt service to export ratio (DSER). Bukan debt to GDP ratio. Nilai batas atas yang aman untuk DSER adalah 15-20%.

Nufransa menyatakan, nilai DSER Indonesia sebesar 39 persen yang disebut RR, adalah keliru. Padahal berdasarkan data Bank Dunia (https://data.worldbank.org/indicator/DT.TDS.DECT.EX.ZS?locations=ID), nilai DSER Indonesia benar nilainya 39,6 persen. ”Taruhlah kita pakai data (Nufransa) yang menggunakan data DSR Indonesia dengan rasio 34%.

Toh, sama saja. Tetap jauh di atas batas atas yang diizinkan (15-20%). Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga Indonesia di Asean memiliki nilai DSER/DSR rata-rata di bawah 10%. Masih sangat aman,” kata Gede.

Gede Sandra juga menyoroti pernyataan RR yang sangat kritis terhadap tingkat bunga (yield) surat utang Indonesia. Sebab, menurutnya, Indonesia seharusnya dapat menghindari kerugian akibat pemasangan yield ketinggian selama ini.

Contoh, dibandingkan Vietnam yang rating-nya di bawah Indonesia (Vietnam bahkan belum masuk investment grade) ternyata tingkat yield surat utang Indonesia masih ketinggian 1%. Tentu, ini merugikan Indonesia.

”Terkait masalah ini, RR sudah memberi solusi agar Menteri Keuangan menukar utang-utang Indonesia yang bunganya ketinggian dengan utang yang bunganya lebih rendah,” kata Gede, seraya mengingatkan Nufransa bahwa tupoksi RR selama di Kabinet Kerja bukan sebagai menteri di tim ekonomi. ”Kewenangan RR tidak berhubungan langsung dengan kebijakan makro ekonomi, fiskal, dan moneter,” tegasnya. [tn]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA