Mahfud MD : Identitas Primordial Itu Biasa dalam Politik

Mahfud MD : Identitas Primordial Itu Biasa dalam Politik

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Memasuki tahun 2018 yang akan berlanjut 2019, ketatnya persaingan politik semakin terasa. Berbagai manuver dan strategi dilakukan partai politik, baik untuk memenangkan Pilkada 2018 maupun mempersiapkan Pilpres dan Pemilu Legislatif 2019.

Persaingan semakin menghangat karena ditandai dengan menguatnya kembali politik identitas. Barangkali inilah salah satu strategi partai politik dalam menjaring suara masyarakat yang senantiasa terjadi dalam pesta demokrasi, baik Pilkada, Pilpres atau Pemilu Legislatif. 

Salahkah menggunakan politik identitas? Mengapa sejumlah pihak mengkhawatirkan? Awak redaksi TeropongSenayan mewawancarai Prof. Mahfud MD, pakar hukum ketatanegaraan yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Rabu (3/1/2018) di Jakarta. Berikut petikannya. 

Praktek politik berdasarkan identitas kembali menguat belakangan ini. Bagaimana pendapat Anda? 

Identitas primordial itu biasa dalam politik. Ikatan primordial itu menjadi tempat orang mengidentifikasi diri. Entah itu keagamaan, ras, suku daerah atau yang dikenal SARA. Itu biasa. Dimana-mana orang mengidentifikasikan diri. 

Misal, kalau orang Islam maka memilih berjuang dengan orang Islam. Demikian juga yang Kristen. Demikian pula yang dari Jawa, milih orang-orang Jawa. Etnis Cina milih Cina dsbnya. Pokoknya politik identitas itu selalu muncul.

Itu sebabnya ada demokrasi. Demokrasi itu untuk membuat saluran-saluran yuridis ketatanegaraan agar setiap aspirasi yang berdasarkan identitas itu tersalur dengan baik dan tanpa konflik. Oleh sebab itu saya kira tidak bisa dihindari. Dimana mana (juga terjadi politik identitas-red) 

Jadi mengapa dikhawatirkan? 

Karena tahun 2017 (saat Pilkada-red) itu dosisnya over untuk DKI Jakarta. Kalau di daerah lain sebenarnya kan tidak. Kan hanya di Jakarta saja politik identitas itu over dosis dan akibatnya sampai sekarang. 

Jadi sesuatu (politik identitas-red) yang sebenarnya tidak apa-apa lalu menjadi apa-apa kan. Jadi politik identitas yang tidak apa-apa dan niscaya terjadi, namun dengan over dosis itu sekarang menjadi apa-apa, lalu apa-apanya itu agak mengkhawatirkan apabila menular ke tahun 2018 ini. 

Karena harus diingat pada 2018 ada pesta demokrasi yaitu Pilkada dan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada pertengahan 2018. Jadi politik politik sudah mulai 'mengelus-elus' calonnya yang akan maju dalam Pilpres 2019.

Potensi 'keburukan' politik yang akan muncul itu adalah identitas primordial itu tadi. Lalu politik uang. Itulah dua hal yang harus diantisipasi sejak mulai sekarang. Jadi tahun 2018 bisa lebih meriah namun tidak harus panas atau konflik. 

Apa yang menyebabkan terjadinya over dosis politik identitas di Jakarta 2017? 

Sebenarnya bersumber pada kepentingan politik semata saja. Jadi ada kelompok-kelompok politik yang mengidentifikasi diri dengan ikatan primordial dan merupakan bagian pertarungan politik. Akibatnya muncullah identifikasi politik. Misalnya ini Islam, itu anti Islam. Kemudian saling mencari-cari kesalahan. Kemudian muncul tudingan itu radikal, anti kebangsaan. Lalu inilah yang berlarut-larut sampai sekarang. Inilah yang berbahaya menurut saya. 

Apakah menyalahi sistem ketatanegaraan? 

Secara ketatanegaraan tidak apa-apa. Malah, ketika UUD 1945 dibentuk, untuk menghilangkan konflik karena identitas ini Bung Karno mengatakan, "kita tidak usah membentuk negara agama tapi membentuk negara kesatuan berdasarkan Pancasila. Dalam negara berdasarkan Pancasila ini silahkan setiap kelompok memilih pemimpin berdasarkan kelompoknya sendiri. Yang Islam agar kebijakan diwarnai Islam maka pilihlah pemimpin Islam. Yang Kristen ingin mendominasi aturan hukum silahkan pilih pemimpin yang Kristen. Itulah aturan negara Pancasila."

Jadi, identitas itu tidak bisa dihindari. Yang penting sadar ada platform bahwa Pancasila itu final. Kalau melanggar maka melawan negara. 

Apakah berlawanan dengan Kebhinekaan? 

Politik identitas tidak bisa dihindari. Bhineka itu artinya kita (Indonesia-red) itu banyak identitas. Tapi kita menyatukan banyaknya identitas. Oleh sebab itu identitas yang beragam itu disatukan dalam ikatan kebangsaan yang bernama Pancasila. Nah ini bisa tercapai jika Pancasila terutama sila ke lima betul-betul diusahakan. 

Terutama rakyat itu kan frustasi juga kalau korupsi itu bukan semakin berkurang namun malah merajalela. Justru melibatkan pejabat penting. Nah itu kemudian orang mencari tempat protes. Kalau lewat ormas resmi tidak terakomodir lalu ikut kelompok yang tidak permanen seperti kelompok Aksi Bela Islam. 

Mereka ini berasal dari mana-mana bersama sama untuk protes. Tetapi mereka kan tidak ada yang bertujuan misalnya menghancurkan negara. Yang berpikir mengganti sistem kan hanya beberapa orang saja. 

Jadi praktik politik identitas ini (terjadi-red) mana-mana. Anda ke Papua misalnya. Pasti kalau ada Pilkada orang akan mencampur putra asli Papua bergandengan dengan orang Jawa, misalnya. Ini kan menunjukan identitas. Karena apa, putra asli ini kan yang memiliki tanah Papua. Sedang orang Jawa disana banyak sekali. Demikian juga terjadi di Sumatera dan daerah lainnya. 

Ditempat lain yang calon kepala daerah non Islam, misalnya, maka wakilnya diajukan yang Islam. Ini semua kan memperlihatkan identitas. Namun dilebur dalam satu kebersamaan. Tapi, semuanya itu bahwa politik identitas itu bisa konflik dan bisa pula menyatukan.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita