Politik Kita : Pilih Pemimpin yang Dimusuhi Parpol-parpol Besar

Politik Kita : Pilih Pemimpin yang Dimusuhi Parpol-parpol Besar

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Di dalam tulisan terdahulu, kita lihat betapa runyamnya situasi bangsa dan negara karena tidak ada oposisi di parlemen (DPR). Penguasa bisa melakukan apa saja tanpa tantangan dan tentangan dari wakil-wakil rakyat, terumata parpol-parpol besar yang berkoalisi dengan Presiden.

Akan tetapi, melihat pengalaman awal Gubernur Anies Baswedan dalam mengelola pemerintahan DKI Jakarta, ada pelajaran baru yang bisa kita petik untuk perbaikan penyelenggaraan kekuasaan di masa depan. Pelajaran itu adalah bahwa rakyat lebih baik memilih calon-calon pemimpin yang tidak disukai oleh parpol-parpol besar.

Begini logikanya. Di DPRD Jakarta sekarang ini muncul oposisi yang sangat kuat terhadap Anies Baswedan. Semua parpol besar di situ menyoroti dengan tajam gerak-gerik Pak Anies. Mereka melakukan ini karena ada “rasa permusuhan” dengan Pak Gubernur. Mereka tidak suka Pak Anies menang Pilkada. Orang-orang Nasdem di parlemen DKI “sangat bagus” kinerjanya dalam memojokkan Gubernur. Begitu juga blok PDI-P dan parpol-parpol lain yang sejak awal tidak suka Anies-Sandi.

Misalnya, mereka menggoyang Pak Anies terkait anggaran belanja daerah dan juga soal biaya tim ahli Gubernur. Inilah fungsi “checks and balances” yang diperlukan dan yang harus ditunjukkan oleh parlemen, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.

Kalau “permusuhan” terhadap Pak Anies berlanjut terus di DPRD Jakarta, maka kita akan melihat pengelolaan pemerintahan yang lebih baik lagi. Kita akan melihat kebocoran anggaran yang semakin kecil. Kita akan melihat tertib admimistrasi yang semakin efisien. Kita akan menyaksikan pelayanan publik yang makin bagus. Inilah sesungguhnya peran anggota parlemen.

Dari pengalaman Pak Anies sekarang ini, kita sebaiknya memilih calon-calon gubernur, bupati dan walikota yang tidak disukai oleh partai-partai besar. Kalau ada yang maju melalui jalur independen, itu mungkin lebih baik. Sebab, kalau calon independen terpilih menjadi gubernur atau bupati/walikota, besar kemungkinan dia akan “dimusuhi” di parlemen daerah (DPRD) sehingga setiap gerak dan langkahnya akan selalu dipantau, dikritik, dan dipertanyakan oleh para anggota dewan.

Situasi yang bagus ini tentu tidak akan terjadi di semua daerah. Pengalaman juga menceritakan bahwa kepala daerah yang terpilih dari jalur independen pun bisa saja membuat kerja sama dengan DPRD. Yaitu, kolaborasi untuk koruspsi. Terutama di daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa.

Tetapi, setidaknya, kita berpeluang untuk memaksimalkan fungsi “checks and balances” di provinsi-provinsi dan kabupaten-kota yang berada di Jawa. Saya yakin, kalau rakyat memilih calon-calon yang tidak didukung oleh partai besar, in-sya Allah kita akan menyaksikan perbaikan dalam pengelolaan pemerintahan dan kekuasaan oleh eksekutif.

Pilkada serentak 2018 untuk 177 jabatan gubernur dan bupati-walikota, bisa digunakan oleh rakyat pemilih untuk mendudukkan para calon yang bakal dimusuhi oleh DPRD. Mari kita gagalkan calon-calon dari koalisi partai-partai besar agar terjadi “permusuhan” (checks and balances) terhadap penguasa.

Selanjutnya, kiat (trick) ini bisa kita terapkan untuk Pilpres dan Pileg 2019. Gagalkan calon yang didukung oleh partai-partai besar, baik untuk jabatan presiden maupun untuk posisi anggota DPR pusat.

Tetapi, perlu juga berhati-hati dalam memilih calon dari partai kecil. Sebab, praktik politik yang amburadul sekarang ini membuat sebagian besar partai kecil menghamba kepada kekuasaan. Carilah calon dari partai kecil yang konsisten menentang kedzoliman dan menolak persekongkolan dengan penguasa.

Dengan taktik begini, in-sya Allah kita akan melihat fungsi pengawasan yang semakin kuat terhadap penguasa dan pemerintah.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita