Soal M. Iriawan Jadi Penjabat Gubernur, Ini Pendapat Refly Harun

Soal M. Iriawan Jadi Penjabat Gubernur, Ini Pendapat Refly Harun

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Pelantikan Komisaris Jenderal M. Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada Senin, 18 Juni 2018, masih menuai perdebatan. Partai Gerindra akan menginisiasi pembentukan panitia khusus hak angket terhadap perwira tinggi Kepolisian RI itu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Begitu pula dengan Partai Demokrat yang akan mengajukan hak angket ke DPR karena menilai pemerintah menabrak sejumlah aturan, salah satunya Undang-Undang Polri.

Menurut pakar hukum tata negara, Refly Harun, dari sisi hukum, undang-undang tersebut memang masih diperdebatkan atau debatable. Sebab, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat 1 menyebutkan kepolisian harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Selanjutnya, dalam Pasal 28 ayat 3 disebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Namun, kata Refly, dalam penjelasan pasal itu disebutkan bahwa dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri. "Jadi artinya, kalau ada izin Kapolri tidak masalah," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 19 Juni 2018.

Selain itu, Refly melanjutkan, jabatan penjabat gubernur tidak permanen. "Saya menilai larangan menjabat selain Polri itu jabatan yang permanen. Jadi, bila dibutuhkan, sebenarnya enggak ada larangan bagi Polri untuk menjabat sebagai penjabat asalkan seizin Kapolri," ucapnya. "Dari perspektif hukum memang debatable, tapi masih bisa dibenarkan dari sisi hukum."

Sedangkan jika dilihat dari perspektif sosial politik, Refly menambahkan, mengangkat perwira tinggi Polri menjadi penjabat gubernur memang kurang bijak karena bisa memunculkan kontroversi dari masyarakat. "Memang lebih bagusnya pejabat dari non-kepolisian saja yang diangkat," tuturnya.

Menurut Refly, pada masa mendatang, aturan itu harus diubah agar tidak lagi menimbulkan perdebatan. "Untuk menjabat pelaksana tugas, ya, harus penjabat politik itu sendiri karena ini adalah jabatan politik. Masak, jabatan politik kemudian menjadi jabatan administratif?" katanya.

Berkaca dari kasus itu , kata Refly, ius constituendum atau peraturan hukum yang diharapkan berlaku pada masa mendatang, masa jabatan gubernur (yang tidak mencalonkan diri kembali) seharusnya diperpanjang saja. Sedangkan jika gubernur dan wakil gubernur mencalonkan diri kembali, harus digantikan pejabat politik yang lain, misalnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Sehingga yang mengisi jabatan politik betul-betul penjabat politik. Tapi pelaksana tugas juga tidak boleh lama-lama kosong, harus segera diisi," ujar Refly Harun. [tempo]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita