WALHI Bongkar Buruk Kehutanan Sumbar! Gubernur Mahyeldi Dituding Cuci Tangan di Tengah Banjir

WALHI Bongkar Buruk Kehutanan Sumbar! Gubernur Mahyeldi Dituding Cuci Tangan di Tengah Banjir

Gelora News
facebook twitter whatsapp
WALHI Bongkar Buruk Kehutanan Sumbar! Gubernur Mahyeldi Dituding Cuci Tangan di Tengah Banjir

GELORA.CO -
Polemik penyebab bencana banjir dan longsor di Sumatera Barat kian memanas.

Setelah Pemerintah Provinsi Sumbar secara terbuka membantah kritik keras Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Respons Pemprov justru dinilai publik sebagai upaya defensif yang terkesan melempar tanggung jawab ke pemerintah pusat.

Bagi pembaca yang ingin ikut mengambil peran, silakan membuka tautan donasi melalui  teks ini ==> Gerakan Anak Negeri

Yang mana saat ini penderitaan masyarakat yang terdampak bencana ekologis berulang.

Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Ferdinal Asmin, menyatakan pernyataan Gubernur Mahyeldi Ansharullah terkait tata kelola hutan telah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.

Ia menegaskan bahwa urusan perizinan kehutanan merupakan domain pemerintah pusat.

Sehingga pemerintah daerah tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas kerusakan hutan yang terjadi.

Pernyataan ini justru memicu kritik lanjutan karena dianggap mengaburkan peran strategis pemerintah daerah dalam menjaga ekosistem dan daerah aliran sungai.

Walhi Sumbar menilai bantahan tersebut sebagai bentuk “cuci tangan” di tengah krisis ekologis yang kian parah.

Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, secara tegas menyebut Gubernur Sumbar sebagai salah satu aktor negara.

Yang bertanggung jawab atas hancurnya hutan dan meningkatnya risiko bencana.

Menurut Walhi, dalih kewenangan pusat tidak bisa dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab moral dan politik.

Apalagi Pemprov Sumbar tercatat aktif mengeluarkan berbagai rekomendasi pemanfaatan kawasan hutan.

Catatan Walhi pada 2021, Pemprov Sumbar merekomendasikan kawasan hutan seluas puluhan ribu hektare di Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam.

Meski di dalamnya terdapat wilayah perhutanan sosial yang menjadi sumber hidup masyarakat adat.

Rekomendasi serupa juga pernah diberikan untuk kawasan Pulau Sipora di Mentawai, yang secara ekologis sangat rentan.

Kebijakan-kebijakan ini dinilai memperparah degradasi lingkungan dan memperbesar potensi bencana.

Walhi juga mengungkap fakta lama bahwa ratusan ribu hektare hutan di Sumbar telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan wilayah tambang, baik legal maupun ilegal.

Dampaknya bukan hanya kerusakan ekosistem, tetapi juga konflik sosial berkepanjangan dan hilangnya ruang hidup masyarakat.

Ironisnya, di saat kerusakan itu belum dipulihkan, Pemprov Sumbar justru kembali mengusulkan ribuan hektare wilayah baru untuk pertambangan di berbagai kabupaten.

Sementara itu, Pemprov Sumbar bersikukuh bahwa deforestasi di wilayahnya tergolong kecil dan sebagian besar disebabkan oleh kebutuhan fasilitas umum serta aktivitas masyarakat.

Pernyataan ini kembali menuai kritik karena dianggap meremehkan dampak kumulatif kerusakan lingkungan.

Dan menutup mata terhadap maraknya tambang ilegal yang merusak hutan dan sungai.

Di tengah saling bantah ini, masyarakat Sumatera Barat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Banjir, longsor, dan kerusakan infrastruktur terus berulang, sementara elite sibuk berdebat soal kewenangan dan narasi.

Publik pun mulai mempertanyakan keberanian pemerintah daerah untuk bertanggung jawab dan mengambil langkah pemulihan, bukan sekadar mencari pembenaran administratif.

Tanpa perubahan kebijakan yang nyata, bencana di Sumatera Barat dikhawatirkan hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terulang dengan skala yang lebih besar.

Demikian perkembangan informasi terkait Walhi sebut Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi cuci tangan dari tanggung jawab.***
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita