Tsunami Kayu Gelondongan Bukan Sekadar Pohon Tumbang! DPR Bakal Panggil Raja Juli

Tsunami Kayu Gelondongan Bukan Sekadar Pohon Tumbang! DPR Bakal Panggil Raja Juli

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Tsunami Kayu Gelondongan Bukan Sekadar Pohon Tumbang! DPR Bakal Panggil Raja Juli

GELORA.CO -
Banjir bandang yang menghantam Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara dan menyeret kayu gelondongan dalam jumlah besar memicu sorotan dari DPR RI. Anggota Komisi IV, Johan Rosihan, menyebut fenomena itu sebagai sinyal kuat kerusakan tutupan hutan sekaligus gangguan serius pada fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS).

Menurut Johan, pernyataan Bupati Tapanuli Selatan, Gus Irawan, yang menyebut adanya pembukaan kembali izin penebangan hutan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada Oktober 2025, perlu segera diperjelas. Ia menilai informasi itu tidak bisa dibiarkan menggantung tanpa klarifikasi resmi.

“Jika benar izin penebangan diterbitkan satu bulan sebelum kejadian, maka terdapat persoalan dalam analisis risiko ekologi, terutama terkait daya dukung, daya tampung DAS, peningkatan runoff, dan menurunnya infiltrasi tanah. Fenomena kayu gelondongan juga tidak dapat dijelaskan hanya dengan kategori ‘tumbang alami’ tanpa bukti forensik kehutanan,” ujar Johan kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Ia menekankan bahwa pola material kayu yang tersapu banjir wajib diuji secara ilmiah. Pemeriksaan melalui timber tracking, audit tegakan pohon, analisis citra satelit tutupan lahan, hingga penghitungan koefisien limpasan disebut penting untuk memastikan asal kayu tersebut—apakah dari area berizin, praktik illegal logging, atau benar-benar hasil tumbang alami.

“Kajian hidrologis dan ekologi lanskap harus menjadi dasar evaluasi, bukan sekadar asumsi administratif,” tegasnya.

Johan memastikan akan meminta penjelasan menyeluruh dari Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam rapat kerja pekan ini. Beberapa hal yang akan dikonfirmasi meliputi dasar kebijakan pembukaan izin pada Oktober 2025, kesesuaian perizinan dengan fungsi kawasan hutan (HL, HPT, HP), hingga kondisi terbaru ekosistem Batang Toru seperti tingkat fragmentasi hutan, status hutan riparian, serta potensi DAS kritis.

Ia menegaskan bahwa bencana ekologis tidak bisa sekadar dikaitkan dengan cuaca ekstrem. Menurutnya, kerusakan lingkungan merupakan hasil akumulasi kebijakan yang longgar dan pengawasan yang tidak efektif. Karena itu, bila ditemukan unsur kelalaian, pejabat terkait harus bertanggung jawab secara hukum maupun etik.

“Pemulihan kepercayaan publik hanya dapat dilakukan melalui keterbukaan data dan evaluasi berbasis sains. Banjir Batang Toru harus menjadi titik balik perbaikan tata kelola hutan dan DAS kita,” pungkasnya.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita