GELORA.CO —Suara isak itu pecah pelan di antara deru air yang masih mengalir deras di sela-sela puing rumah.
Di sebuah sudut wilayah terdampak bencana di Aceh, seorang anggota Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menundukkan kepala.
Kedua tangannya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena beratnya kenyataan yang harus ia hadapi sejak subuh tadi.
Di hadapannya, beberapa kantong jenazah masih tergeletak. Ada yang baru ditemukan beberapa jam lalu, ada pula yang sejak kemarin belum tersentuh penanganan lanjutan.
“Kami mohon maaf, kami berusaha secepat mungkin,” ujar salah seorang petugas dengan suara bergetar.
Bencana yang menerjang wilayah tersebut bukan hanya meninggalkan luka fisik pada lanskap pemukiman, tetapi juga luka batin bagi para petugas yang kini bekerja hampir tanpa jeda.
Di antara lumpur yang menutup jalan setinggi lutut, jembatan yang runtuh, serta akses ke beberapa dusun yang terputus total, tim BPBD bekerja sambil menimbang antara kecepatan dan keselamatan.
Mereka harus memetakan ulang rute setiap beberapa jam, sebab kondisi medan berubah seiring arus air yang belum sepenuhnya surut.
Dalam situasi semacam itu, penanganan jenazah yang jumlahnya terus bertambah menjadi beban mental tersendiri.
Tidak ada pelatihan yang benar-benar siap membuat seseorang kuat menghadapi kenyataan bahwa jenazah tak bisa segera dievakuasi seperti yang semestinya.
Seorang anggota tim menceritakan bagaimana mereka menemukan korban yang tersangkut di antara reruntuhan pagar rumah.
Proses evakuasi memakan waktu lebih dari dua jam karena tim harus memastikan wilayah sekitar aman.
“Kami ingin segera mengangkatnya… tapi air sangat deras. Kami takut justru membahayakan tim,” ucapnya.
Setiap jenazah bagi mereka bukan angka, bukan data, tetapi seseorang dengan keluarga yang menunggu.
Itulah yang membuat para petugas bekerja sambil menahan napas panjang, menahan air mata yang tak selalu berhasil mereka sembunyikan.
Ada jeda panjang ketika satu jenazah dipindahkan; hening yang hanya diisi suara gesekan kantong jenazah.
Di posko induk yang didirikan darurat, para relawan terus menyusun strategi untuk menjangkau titik-titik terpencil. Logistik tambahan sudah diminta.
Personel dari instansi lain bersiap memperkuat tim. Namun medan yang ekstrem membuat segala proses tetap berjalan lambat.
Sementara itu, masyarakat yang kehilangan anggota keluarga hanya bisa berharap agar cuaca bersahabat dan tim penyelamat dapat bekerja lebih cepat.
Meski berada dalam tekanan psikologis yang berat, para petugas BPBD enggan menyerah.
Setiap hari mereka memulai tugas dengan doa singkat, berharap keberanian dan ketabahan tidak luntur.
Mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian penting dari upaya memulihkan martabat korban dan memberi kepastian bagi keluarga yang menunggu penuh cemas.
Di tengah suasana duka ini, harapan tetap tumbuh pelan, namun nyata.
Warga saling membantu, relawan terus berdatangan, dan tim penyelamat dari berbagai daerah siap bergabung.
Yang mereka butuhkan kini hanyalah waktu, cuaca yang bersahabat, serta kekuatan untuk terus melanjutkan tugas yang tidak selalu sanggup dilihat mata biasa.
Semoga seluruh proses penanganan dapat segera terselesaikan, para korban mendapatkan penghormatan dan penanganan yang layak, dan semua petugas yang berjibaku di lapangan diberi keteguhan hati untuk melewati hari-hari tersulit ini
Sumber: Wartakota
