GELORA.CO - Dalam podcast Endgame bersama Gita Wirjawan, dokter spesialis bedah saraf dr. Ryu Hasan kembali mengangkat sebuah cerita lama yang menarik perhatian publik.
Ia membagikan pengalaman pribadi saat masih berstatus mahasiswa kedokteran di tahun 1986.
ketika dirinya melakukan survei sederhana mengenai tingkat kecerdasan anak-anak di Kabupaten Kediri.
Survei tersebut ia lakukan dengan mengukur IQ siswa SD, SMP, hingga SMA di tujuh kecamatan.
Hasilnya, kata dr. Ryu, justru cukup mengejutkan rata-rata IQ anak-anak Kediri pada masa itu berada di angka 109,6 angka yang.
Jika benar sesuai pengukuran, termasuk tinggi untuk ukuran rata-rata populasi.
Cerita ini kembali mengemuka karena ia kemudian membandingkannya dengan angka yang sering beredar mengenai estimasi rata-rata IQ masyarakat Indonesia saat ini.
Yakni sekitar 78,4. Perbandingan itu tentu saja memantik diskusi luas di ruang publik.
Terutama karena pernyataan tersebut memberi kesan adanya penurunan yang sangat signifikan dari masa ke masa.
Menurut dr. Ryu, jika angka rata-rata IQ tersebut turun delapan poin lagi, levelnya bahkan akan mendekati rentang IQ gorila.
Yang dalam berbagai estimasi ilmiah diperkirakan berada di kisaran 70–90.
Namun penting untuk ditegaskan bahwa pernyataan tersebut belum merupakan klaim resmi atau hasil riset terbuka yang telah dipublikasikan secara ilmiah.
Data yang disebutkan dr. Ryu bersifat deskriptif berdasarkan pengalaman pribadi puluhan tahun lalu.
Sementara angka mengenai IQ Indonesia yang beredar juga tidak selalu.
Disertai penjelasan komprehensif mengenai metodologi, tahun pengukuran, ukuran sampel, hingga validitas instrumennya.
Dengan kata lain, pembahasan ini lebih tepat dipandang sebagai pemantik diskusi mengenai kualitas pendidikan.
Lingkungan tumbuh anak, serta faktor sosial yang mungkin memengaruhi perkembangan kognitif di masyarakat.
Meski begitu, isu ini tetap relevan untuk dibicarakan. Kontroversi yang muncul memperlihatkan bahwa.
Publik memiliki kepedulian tinggi terhadap perkembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Perubahan sistem pendidikan, akses gizi, pengaruh teknologi, hingga perubahan pola hidup menjadi faktor yang sering disebut dalam diskusi mengenai perkembangan kecerdasan generasi muda.
Banyak pakar juga menekankan bahwa IQ bukan satu-satunya ukuran kecerdasan.
Serta pemahaman tentang kemampuan manusia kini jauh lebih kompleks daripada sekadar angka tunggal.
Cerita yang dibagikan dr. Ryu pada akhirnya bukan sebatas soal angka IQ, tetapi lebih pada ajakan untuk memperhatikan kembali.
Bagaimana lingkungan, kebijakan pendidikan, dan kondisi sosial dapat membentuk kemampuan kognitif generasi berikutnya.
Diskusi semacam ini penting sebagai refleksi bersama, bukan untuk menimbulkan kepanikan.
Melainkan sebagai langkah awal mempertanyakan sejauh mana upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Dengan demikian, meski belum ada klaim resmi atau kajian ilmiah terbaru yang menegaskan data tersebut.
Percakapan yang muncul dapat menjadi pengingat bahwa pembangunan.
Kualitas manusia adalah proses jangka panjang yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh lapisan masyarakat.***
