GELORA.CO - New York, kota yang selalu haus akan drama dan sorotan, kini punya pasangan power couple baru. Bukan dari Wall Street atau Hollywood, melainkan dari lorong-lorong politik progresif dan studio seni di Brooklyn. Mereka adalah Zohran Mamdani, Wali Kota New York terpilih yang berlatar belakang Muslim dan imigran pertama di kota itu, serta istrinya, Rama Duwaji, seorang ilustrator berbakat keturunan Suriah.
Jauh sebelum hiruk pikuk panggung kemenangan melingkupi Zohran, pasangan ini mengawali segalanya dengan kesederhanaan. Ingatlah sebuah siang yang basah di awal tahun 2025. Alih-alih mobil mewah, Zohran dan Rama memilih naik kereta dari Astoria menuju City Hall untuk pernikahan sipil mereka.
Rama tampil apa adanya: gaun putih sederhana, sepatu boots setinggi lutut, dan setangkai bunga di tangan. Di tangan yang lain, ia menggenggam erat tangan Zohran. Tidak ada panggung, tidak ada rombongan besar, hanya dua sejoli yang memilih kejujuran di tengah kota yang memuja kemegahan. Sebuah potret anti-glamor yang ditangkap oleh teman mereka, fotografer Kara McCurdy, menjadi saksi bisu.
"Saya sudah tahu dia akan menikahi Rama sejak bertahun-tahun lalu," tulis McCurdy. Foto-foto itu menceritakan kisah yang lebih jujur dari seribu berita utama: dua orang berjalan berdampingan, membawa cinta dalam keheningan yang sederhana.
Bukan Sekadar Pendamping: Suara Kemanusiaan dari Studio Seni
Namun, setelah Zohran berdiri di panggung kemenangan sebagai Wali Kota terpilih, sorotan publik tak lagi hanya tertuju pada janji politiknya. Perhatian mulai bergerak ke arah Rama. Siapa wanita muda yang berdiri tegap dan tenang di samping tokoh politik yang kini dikenal karena keberaniannya membela kemerdekaan Palestina dan mengkritik keras pemerintahan Israel?
Zohran sendiri yang memberikan pembelaan terbaik. "Rama bukan hanya istriku. Ia adalah seniman yang luar biasa dan pantas dikenal atas karyanya sendiri. Kalian boleh mengkritik pandangan politikku, tapi bukan keluargaku," ujar Mamdani.
Rama Duwaji, kelahiran Houston, Texas pada 1997, membawa identitas yang kaya dan kompleks. Keturunan Suriah, ia sempat pindah ke Dubai saat berusia sembilan tahun, sebelum kembali ke Amerika untuk menamatkan pendidikan seni di Virginia Commonwealth University dan Master of Fine Arts di School of Visual Arts, New York.
Pengembaraan ini bukan sekadar pindah alamat. Itu adalah bahan bakar emosional, kanvas tempat ia menuangkan pengalaman displacement, adaptasi, dan pencarian komunitas.
Dari Kehangatan Rumah ke Penderitaan Gaza
Dalam karya-karya ilustrasinya, Rama seringkali berfokus pada perempuan. Ia menggambarkan adegan sehari-hari yang intim dan hangat: perempuan yang saling menyisir rambut, membaca buku, menyulam, atau hanya menonton TV bersama.
“Aku membuat karya untuk orang-orang yang peduli pada hal-hal yang aku pedulikan,” katanya dalam sebuah wawancara. Baginya, kehangatan sehari-hari itu membentuk ikatan terkuat, sebuah komunitas organik yang terbentuk dari percakapan jujur tentang karya.
Namun, palet Rama tak hanya diwarnai kehangatan domestik. Ia adalah seniman yang memandang dunia, terutama Timur Tengah, dengan mata tajam keadilan sosial. Karyanya tak segan mengangkat isu perjuangan, kehilangan, hingga perlawanan global.
Salah satu karyanya yang paling menyentak adalah saat ia mengangkat kisah Reem Ahmed, arsitek dari Gaza yang terjebak di bawah reruntuhan rumahnya selama dua belas jam setelah serangan udara.
Di platform digital, Rama membuat animasi yang viral: seorang gadis Palestina memegang periuk kosong dengan tulisan ‘Not a hunger crisis’, yang kemudian berubah menjadi gambar kerumunan orang memegang wadah kosong bertuliskan ‘It is deliberate starvation’.
Karya ini dengan lugas mengubah narasi dari 'krisis kelaparan' menjadi 'kelaparan yang disengaja' (deliberate starvation), sebuah pernyataan politik yang kuat, ditujukan langsung ke jantung konflik kemanusiaan. Rama menggunakan seni sebagai bahasa universal yang menembus batas politik dan geografi.
Karir Moncer dan Komitmen Jangka Panjang
Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, Rama Duwaji telah mengukir jejak karier yang mengesankan. Ia sudah bekerja dengan klien-klien besar nan bergengsi, dari media sekelas The New Yorker, The Washington Post, dan BBC, hingga raksasa teknologi seperti Apple dan Spotify, bahkan lembaga seni terkemuka Tate Modern.
Menariknya, di tengah karier digitalnya, ia sesekali kembali ke akar seni tradisional: memijit tanah liat, membentuk piring atau mangkuk, dan menggambar di atasnya dengan tangan. Ia menjembatani dunia digital dan sentuhan tangan, mencerminkan identitasnya yang menjembatani budaya Timur dan Barat.
Kini, New York telah memilih pemimpin baru, seorang Muslim pertama dan yang termuda dalam satu abad. Di samping Zohran Mamdani, berdiri Rama Duwaji. Ia bukan sekadar ornamen publik atau simbol pendamping. Ia adalah seorang seniman Gen Z dengan pandangannya sendiri, suaranya sendiri, dan komitmen mendalam terhadap kemanusiaan.
Pasangan ini membuktikan, bahwa dalam hiruk pikuk politik New York, masih ada ruang untuk kesederhanaan, kejujuran, dan yang terpenting: harapan yang dimulai dari pertemuan tak terduga di aplikasi kencan bernama Hinge.
Sebuah cerita yang menggerakkan, bahwa politik dan seni, saat dipadukan dengan kejujuran, dapat menciptakan perubahan yang lebih berarti.
