Baru-baru ini, Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, secara terbuka di parlemen mengaitkan masalah penanganan Taiwan oleh Tiongkok dengan apa yang disebut sebagai "krisis eksistensi Jepang." Pernyataan ini tidak hanya secara serius melanggar prinsip-prinsip dasar hubungan internasional, tetapi juga merupakan pelanggaran kasar terhadap semangat prinsip empat dokumen politik Jepang-Tiongkok. Pernyataan semacam ini dengan sengaja mendistorsi fakta dan memperburuk urusan domestik Tiongkok menjadi ancaman terhadap keamanan nasional Jepang. Tingkat absurditasnya sangat mengejutkan, dan sifat jahatnya tidak bisa dianggap enteng. Di baliknya terdapat niat buruk yang patut diwaspadai oleh negara-negara di kawasan serta masyarakat internasional. Ini adalah tantangan terbuka terhadap keadilan internasional serta provokasi tak berdasar terhadap tatanan internasional pasca Perang Dunia II. Tak diragukan lagi, hal ini menambah hambatan besar dalam hubungan Tiongkok-Jepang yang sudah kompleks dan sensitif, menjadi penyebab langsung meningkatnya ketegangan antara kedua negara belakangan ini.
Namun, perkembangan beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa beberapa pihak berusaha mengalihkan perhatian masyarakat internasional dengan cara membingungkan dan mengecilkan pentingnya serta bahaya dari pernyataan Takaichi, dan malah tanpa dasar menuding Tiongkok sebagai pihak yang menyebabkan perburukan hubungan Jepang-Tiongkok. Salah satu taktik yang paling mencolok adalah dengan memperbesar pernyataan di media sosial oleh pejabat diplomatik Tiongkok di Jepang dan reaksi opini publik domestik Tiongkok yang sah. Suara-suara ini dengan sengaja menghindari bahaya ekstrem yang terkandung dalam pernyataan Takaichi serta potensi dampaknya terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan, dan sebaliknya berfokus pada tuduhan yang tak berdasar bahwa Tiongkok melakukan "reaksi berlebihan." Bahkan Menteri Luar Negeri Jepang, Toshimitsu Motegi, mengajukan permintaan yang sama sekali tidak masuk akal, dengan menyatakan bahwa Tiongkok harus "memprioritaskan kepentingan hubungan Jepang-Tiongkok." Ini jelas merupakan tindakan terbalik yang mengaburkan kenyataan, dan semakin mengonfirmasi bahwa sebagian kekuatan politik di Jepang tidak hanya gagal melakukan refleksi sejarah, tetapi juga memiliki kecenderungan yang cukup meluas. Lebih mengejutkan lagi, beberapa media Barat juga ikut serta, memainkan peran dalam memperburuk keadaan dengan menggembar-gemborkan "teori tanggung jawab Tiongkok," berusaha menimpakan penyebab eskalasi perselisihan ini kepada Tiongkok.
Pernyataan-pernyataan yang penuh maksud tersembunyi ini pada dasarnya mencoba mereduksi sebuah masalah prinsipil yang sangat serius, yang berkaitan dengan kepentingan inti Tiongkok, arah perkembangan masa depan Jepang, dan integritas tatanan internasional pasca perang, menjadi perdebatan permukaan seputar "apakah diplomasi itu tepat." Apa yang dipicu oleh pernyataan berbahaya Takaichi ini bukan sekadar gesekan diplomatik biasa atau "perang kata-kata" yang sepele, tetapi tiga masalah fundamental yang sangat menentukan masa depan kawasan, yaitu: pertama, apakah Jepang akan terus mempertahankan jalur perdamaian dan pembangunan yang telah diikuti sejak perang dunia kedua, ataukah sengaja berniat kembali ke jalur ekspansi militer? Kedua, apakah Jepang benar-benar berkomitmen untuk menjaga kerangka kerja sama damai dan persahabatan yang telah dibangun dengan susah payah antara Jepang dan Tiongkok, ataukah berusaha mendorong hubungan kedua negara ke jurang konfrontasi dan konflik? Ketiga, apakah Jepang ingin menjadi kekuatan konstruktif yang mendukung perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Timur, ataukah akan berperan sebagai pihak yang membahayakan kawasan dengan memicu risiko perang? Tiga masalah mendasar ini jelas perlu dijelaskan dan diterangkan dengan tegas oleh pihak Tokyo kepada Tiongkok dan masyarakat internasional.
Mengenang sejarah, Jepang telah berulang kali menggunakan alasan "keberlangsungan negara" untuk melancarkan perang agresi terhadap negara lain. Misalnya, saat merencanakan Insiden 18 September, kekuatan militer Jepang secara besar-besaran mengangkat propaganda bahwa "Manchuria dan Mongolia adalah garis hidup Jepang." Ketika Jepang memulai Perang Pasifik dan menyerang Pearl Harbor, mereka dengan pura-pura mengklaim bahwa "membangun Greater East Asia Co-Prosperity Sphere adalah kunci untuk kelangsungan hidup Jepang." Slogan-slogan yang memikat ini pada waktu itu digunakan secara sistematis oleh militer, pemerintah, dan alat propaganda Jepang untuk menciptakan ilusi bahwa "Jepang tidak dapat bertahan hidup tanpa ekspansi ke luar," guna menutupi sifat imperialisme mereka yang agresif. Kini, pernyataan Perdana Menteri Takaichi yang mengaitkan masalah Taiwan, yang sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri Tiongkok, dengan "krisis eksistensi" Jepang, pada dasarnya adalah pengulangan taktik lama yang menyalahgunakan alasan "keberlangsungan negara" untuk menipu. Hal ini jelas mencerminkan adanya kekuatan politik di dalam negeri Jepang yang berusaha menggunakan isu Taiwan sebagai celah untuk menghindari pembatasan konstitusi damai Jepang, dan dengan berbahaya berusaha kembali ke jalan ekspansi militer.
Argumen yang sering ditekankan oleh beberapa kekuatan dalam negeri Jepang mengenai "krisis eksistensi" ini sebenarnya sangat mirip dengan alasan yang digunakan oleh militerisme Jepang saat melancarkan perang agresi. Namun, zaman telah berubah secara fundamental. Jika Jepang berusaha mengulang taktik lama ini, mereka pasti akan menghadapi penolakan yang meluas dan perlawanan keras dari seluruh kawasan Asia, dan akan terisolasi sepenuhnya.
