0leh:Agus Wahid
LUAR biasa memang kaum bandit di negeri Konoha ini. Bagaimana tidak? Tak lama memenangkan pemilihan presiden pada 2014, segera terbangun Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah. Sebuah perusahaan swasta ini merupakan kerja sama Indonesia (Jokowi)–Xi Jinping (China) yang menelan investasi sebesar 34,3 miliar Dolar AS (atau dengan nilai tukar Rp 15.000/Dolar AS senilai Rp225 triliun).
Investasi sebesar ini untuk membangun areal seluas sekitar 2.000 ha. Untuk mengelola lebih produktif sumber daya alam (SDA) nikel. Konon, untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Indonesia, di samping China itu sendiri selaku mitra. Sebuah prestasi langsung atas kemenangan Jokowi atau merupakan kompensasi atas funding saat biaya politiknya menuju istana?
Forget it “bualan” kerjasama investasi itu. Terserah lho, Mr. Jo. Menurut sumber AI, dalam areal IMIP, terbangun Bandara Morowali seluas 158 ha, dengan landasan pacu berukuran 1.050 meter x 30 meter, apron 80 x 70 meter dan taxy way 192 x 18 meter.
Yang menarik untuk dicatat lebih jauh, menurut catatan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Bandara Morowali yang beroperasi sejak 2014 ini tercatat ilegal. Dan yang lebih mengagetkan, bandara itu tak dilengkapi perlengkapan alat navigasi. Juga, tak ada petugas bea cukai dan imigrasi. Weleh, weleh…...
Dengan tiadanya beberapa perangkat strategis itu, bagaimana menjaga kedaulatan negara, sementara Bandara Morowali terlepas dari status hukum teritorial Indonesia? Otoritas Bandara tersebut dipegang sepenuhnya oleh manajemen IMIP, tanpa sentuhah operasional dari anasir domestik (orang atau anak bangsa Indonesia). Maka, tidaklah berlebihan saat Menhan Sjafrie menyampaikan larangan tegas, adanya negara dalam negara. Sangat membahayakan bagi kepentingan nasional, terkait keamanan wilayah dan nasional. Juga, kepentingan strategis lainnya (ekonomi).
Ketiadaan keterlibatan anak bangsa Indonesia sangat terbuka terjadinya penyalahgunaan area bandara sebagai pusat people smuggling dan barang-barang China dengan status ilegal (tanpa dokumen resmi negara).
Bandara Morowali beroperasi sejak 2014. Jika diasumsikan penggunaannya secara efektif sejak awal 2015, berapa juta orang-orang selundupan China yang langsung ke Morowali selama sembilan tahun terakhir? Pertanyaan ini menjadi relevan sejalan dengan janji politik Jokowi dalam kampanye pilpres 2014 yang siap menyediakan lapangan kerja sebesar 10 juta orang.
Di lapangan, para pencari kerja domestik tetap diperhadapkan kesulitan. Maka, tidaklah berlebihan, jika pikiran kita langsung melayang ke janji Jokowi itu. Tergambarlah proyek people smuggling, yang notabene tercatat sebagai tenaga kerja asing (TKA) asal China. Yang perlu ditelaah lebih jauh, mereka yang bermigrasi ke Morowali berambut cepak dan berbadan tegap. Tak ubahnya paramiliter. Memang belum terkonfirmasi. Tapi, indikator fisiknya cukup meyakinkan sebagai paramiliter.
Karena itu, pikiran sehat kita pun langsung melayang lebih jauh, adakah Bandara Morowali bagian dari grand design untuk migrasi besar-besaran angkatan militer China ke Tanah Air? Pertanyaan ini kian terkonfirmasi sejalan dengan para TKA China tidak hanya tersentralisasi di wilayah IMIP, tapi ke sentra-sentra lainnya yang menjadi basis industrial estate of China di berbagai daerah pertambangan baru di Tanah Air ini, termasuk desain Ibukota Nusantara, meski kini kian tak jelas lanjutan pembangunan dan peruntukannya.
Di samping people smuggling, kita perlu mempertanyakan, berapa juta ton barang-barang China masuk ke Tanah Air tanpa melalui petugas bea cukai dan petugas imigrasi? Meski sulit dibuktikan secara kuantitatif, tapi durasi selama sekitar sembilan tahun tanpa pengawasan petugas bea cukai dan imigrasi, maka cukuplah makes sense jika muncul opini perkiraan jutaan ton barang impor melalui Bandara Morowali.
Berapa triliun rupiah potensi dana menguap dari barang-barang impor China? Mencermati kelakuan para bandit (eksportir China dan importir Indonesia selaku komprador), maka Prabowo harus segera mengerahkan Menteri Keuangan Purbaya untuk merevitalisasi penerimaan negara dari Morowali. Juga, Menteri Hukum dan Menteri Pertahanan harus segera mengambil tindakan super tegas.
Yang harus dilihat, bukan hanya sektor penerimaan negara, tapi kedaulatan negara yang sudah disusupi secara masif dan penuh terencana, dari sisi gambaran sosok paramiliter asing, juga jumlah barang yang mengakibatkan pelaku ekonomi nasional semakin lemah saat berkompetisi di pasar terbuka. Tidak tertutup kemungkinan, di tengah arus barang impor itu terdapat barang-barang haram lainnya (narkoba). Bagi eksportir terdapat dua misi besar: bisnis itu sendiri (profit taking sebesar-besarnya). Juga, misi penghancuran mental dan otak anak bangsa Indonesia yang memang menjadi target neokolonialisasinya.
Sebagai nasionalis sejati, Prabowo dan jajarannya yang setia NKRI harus terpanggil untuk menyelesaikan persoalan Bandara Morowali yang ilegal itu. Dalam jangka pendek, Bandara harus ditutup. At least, dilakukan reorganisasi pengoperasian Bandara yang tidak boleh lagi di bawah kendali China. Langkah serupa juga perlu dilakukan terhadap otoritas IMIP. Atas nama menjaga kedaulatan negara, Kementerian Pertahanan sangat berkepentingan untuk mengawasi dan stand by di areal Bandara dan seluruh afreal IMIP. Kalau perlu, bangunlah batalion-batalion baru untuk misi utama: menjaga kedaulatan wilayah.
Atas nama kepentingan ekonomi, Kementerian Keuangan, Perhubungan dan Kementerian Hukum haruslah memberikan perhatian ekstra atas banditisme yang sudah berjalan selama 10 tahun lebih di tengah Morowali. Panggilan ini juga menjadi peluang untuk mereview lebih riil penerimaan negara dari wilayah IMIP. Tidak hanya Bandara Morowali yang baru ketahuan manipulasi dan atau kejahatannya, tapi juga grafik atau neraca perdagangan (ekspor-impor) dari dan ke IMIP.
Dan menjadi blessing in disguise bagi Kementerian Ketenagakerjaan untuk mereview lebih jernih sistem upah ketenagakerjaan yang berkeadilan dan manusiawi antara tenaga kerja lokal versus TKA China.
Akhir kata, praktik banditisme ekonomi yang dilakukan rezim Jokowi memang sudah saatnya dibabat. Karena, ancamannya bukan hanya ekonomi dan sistem sosial semata, tapi juga politik dan keamanan suatu negara dan rakyat. Satu hal yang harus ditegaskan: negara tak boleh kalah oleh kaum bandit. Karena, mereka para penghancur. Penghancurannya pun terencana. Itulah grand design neokolonialisasi yang tak boleh lengah, sampai kapanpun.
Dan satu lagi hikmah di balik ketahuannya Bandara Morowali yang ilegal. Yaitu, ada urgensi kuat untuk mereview Bandara Kertajati, Majalengka. Atas nama efisiensi dan sepinya penumpang, Bandara Kertajati layak menjadi bagian yang harus ditinjau ulang. Landasannya bukan hanya inefisiensi, tapi dugaan kuat keberadaan Bandara Kertajati selama ini dijadikan bandara mobilisasi TKA China yang notabene paramiliter.
(Analis Politik)
