OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI
MENTERI Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, suatu waktu berkata bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sejak awal “sudah busuk”, publik kompak tertegun. 
Pernyataan itu, meski spontan, justru menyingkap apa yang selama ini disembunyikan: cacat konseptual, cacat hukum, dan cacat moral dari proyek yang sejak awal diklaim sebagai simbol kemajuan bangsa.
Namun yang lebih ironis bukanlah kata “busuk” itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa mereka yang di media tampak berseberangan ternyata bersatu dalam satu lingkaran kepentingan yang sama -- Danantara -- jaringan politik-ekonomi yang menautkan pejabat, pengusaha, dan BUMN dalam simbiosis kekuasaan.
Proyek Woosh pun menjadi cermin telanjang dari penyimpangan kekuasaan yang terinstitusionalisasi, di mana hukum hanya menjadi alat legitimasi kebijakan, bukan batas moral negara.
Robeknya Payung Hukum
Fondasi hukum proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dibangun di atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang seharusnya hanya bersifat administratif dan teknis, namun justru dijadikan instrumen legalitas utama dalam mengatur jaminan keuangan negara terhadap utang luar negeri yang dikelola oleh BUMN.
Padahal, secara hierarki peraturan perundang-undangan, PMK tidak dapat menciptakan norma hukum baru yang mengikat negara secara fiskal dalam jangka panjang.
Asas lex superior derogat legi inferiori menegaskan bahwa peraturan di bawah undang-undang tidak boleh bertentangan atau melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Dalam konteks ini, penggunaan PMK untuk menjamin pinjaman dari China Development Bank (CDB) jelas melampaui mandatnya, karena setiap jaminan fiskal negara wajib tunduk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mewajibkan adanya persetujuan DPR sebagai representasi rakyat.
Artinya, struktur legal proyek KCIC dibangun di atas peraturan yang rapuh, di mana hukum menjadi sekadar perisai administratif bagi kebijakan ekonomi yang politis. Dalam perspektif konstitusional, hal ini merupakan bentuk deviasi kewenangan (detournement de pouvoir) -- penggunaan kekuasaan publik untuk tujuan yang menyimpang dari maksud pemberian wewenang.
Penyalahgunaan Wewenang: Dari Definisi ke Realitas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara eksplisit melarang pejabat publik menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain di luar maksud pemberian kewenangan tersebut. Namun dalam praktik, penyalahgunaan ini sering dikamuflase dengan istilah “diskresi strategis”, yang seolah-olah dilegitimasi demi kepentingan pembangunan.
Proyek KCIC adalah simulakra diskresi, di mana kewenangan yang seharusnya bersifat administratif berubah menjadi alat politik.
Pemerintah menggunakan dalih percepatan infrastruktur untuk melakukan restrukturisasi pembiayaan tanpa persetujuan legislatif, memindahkan tanggung jawab fiskal dari negara ke BUMN, dan memaksakan kontrak lintas negara tanpa akuntabilitas publik.
Pejabat publik, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas dan penjaga kepentingan negara, justru berperan ganda sebagai regulator sekaligus operator. Di sinilah prinsip check and balance runtuh, dan negara menjadi pemain dalam permainan yang seharusnya diawasinya sendiri.
Pola Sistemik dan Anatomi Kekuasaan
Kasus KCIC tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari pola penyalahgunaan wewenang yang terstruktur, sistemik, dan berulang dalam proyek-proyek strategis nasional.
Pola itu memiliki tiga dimensi utama:
1. Persekongkolan Kebijakan
Kolaborasi terselubung antara pejabat politik, birokrat, dan korporasi BUMN yang menafsirkan hukum secara oportunistik demi menjustifikasi proyek tertentu.
Dalam logika ini, hukum tidak lagi menjadi pembatas, melainkan pelicin kekuasaan.
2. Normalisasi Pelanggaran 
Setiap  penyimpangan dibungkus dengan retorika nasionalisme: “demi pembangunan” atau “demi rakyat”.
Padahal, hakikat pembangunan sejati bukan pada kecepatan proyek, melainkan pada ketertiban hukum dan keadilan fiskal.
3. Reduksi Akuntabilitas Publik
Kritik terhadap proyek dianggap sebagai tindakan anti-nasional, sementara pengawasan rakyat dibungkam oleh jargon efisiensi dan produktivitas.
Pola ini menandakan lahirnya oligarki legal ?" sistem di mana hukum sah secara administratif, tetapi gagal secara moral dan konstitusional.
Konsekuensi Hukum dan Akuntabilitas Negara
Secara hukum, kasus KCIC membuka tiga jalur pertanggungjawaban yang dapat ditempuh oleh negara dan publik untuk menguji keabsahan tindakan pejabat:
1. Jalur Administratif
Melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji keabsahan tindakan atau keputusan pejabat publik yang bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), termasuk asas kepastian hukum, keterbukaan, dan proporsionalitas.
2. Jalur Pidana Korupsi
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dapat dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana penjara 1?"20 tahun.
Pembengkakan biaya (cost overrun) proyek KCIC yang mencapai miliaran dolar AS berpotensi menjadi bukti awal terjadinya kerugian keuangan negara.
3. Jalur Perdata dan Keuangan Negara. 
Berdasarkan prinsip tanggung gugat (liability) pejabat publik, setiap pejabat yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian negara wajib mengganti kerugian tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan doktrin personal accountability dalam hukum administrasi modern.
Dengan demikian, penegakan hukum terhadap KCIC harus bersifat komprehensif, tidak hanya menjerat pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem kelembagaan yang memungkinkan pelanggaran itu terjadi.
Reformasi Tata Kelola dan Etika Publik
Krisis hukum yang mengemuka dari proyek KCIC harus menjadi momentum untuk reformasi tata kelola infrastruktur nasional.
Ada tiga langkah fundamental yang wajib segera ditempuh:
1. Audit Konstitusional
Pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh proyek strategis nasional oleh BPK, KPK, dan Mahkamah Konstitusi dalam dimensi keuangan, hukum, dan kesesuaian terhadap prinsip konstitusional.
2. Kewajiban Persetujuan Legislatif
Setiap keputusan fiskal jangka panjang harus mendapatkan persetujuan DPR sebagai representasi kedaulatan rakyat. Tidak boleh ada “diskresi menteri” yang mengikat negara dalam kontrak lintas dekade.
3. Etika Publik dan Pemisahan Peran
Pejabat publik wajib memilih: menjadi regulator yang independen atau pelaksana yang transparan. Tidak boleh keduanya. Sebab, konflik kepentingan adalah sumber awal dari setiap penyalahgunaan wewenang.
Negara Tergelincir di Proyek Busuk
KCIC bukan hanya proyek kereta cepat; ia adalah metafora tentang negara yang tergelincir di relnya sendiri. Kita menyaksikan bagaimana hukum direduksi menjadi hiasan administratif, dan kekuasaan berlari lebih cepat daripada akal sehat publik.
Penyalahgunaan wewenang tidak lagi sekadar pelanggaran administratif -- ia telah menjelma menjadi pengkhianatan terhadap bonum commune, kebaikan bersama yang menjadi cita moral setiap pemerintahan.
Ketika negara kehilangan rasa malu, dan hukum kehilangan keberanian, maka setiap proyek megah hanya akan menjadi monumen kebohongan yang ditandatangani oleh pejabatnya sendiri.
Langkah-Langkah Hukum Praktis
1. Pengajuan Audit Investigatif BPK 
Masyarakat sipil dan lembaga pengawas dapat secara resmi meminta BPK RI melakukan audit investigatif terhadap penggunaan dana KCIC, termasuk penelusuran terhadap skema jaminan negara dan pembengkakan biaya.
2. Pelaporan Dugaan Penyalahgunaan Wewenang ke KPK 
Berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor, laporan dapat diajukan oleh individu, lembaga masyarakat, atau akademisi terhadap indikasi perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara.
3. Gugatan Administratif ke PTUN 
Pengajuan gugatan terhadap PMK atau keputusan pejabat yang diduga melanggar asas legalitas, untuk diuji keabsahan formil dan materilnya.
4. Permohonan Hak Angket DPR
DPR memiliki kewenangan untuk memanggil pejabat terkait dan meminta pertanggungjawaban politik atas kebijakan pembiayaan dan penjaminan proyek KCIC.
5. Inisiatif Judicial Review
Permohonan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap PMK yang menjadi dasar hukum proyek, bila dianggap bertentangan dengan UU Keuangan Negara dan prinsip konstitusional.
6. Pembentukan Tim Khusus Reformasi BUMN
Pemerintah harus membentuk tim independen untuk mengevaluasi keterlibatan BUMN dalam proyek lintas negara dan memastikan tidak terjadi state capture oleh kepentingan oligarki.
 
 
