Whoosh Dirancang, APBN Dicincang

Whoosh Dirancang, APBN Dicincang

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh:Defiyan Cori

PEMERINTAH secara resmi menetapkan Whoosh sebagai nama resmi Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) pada 21 September 2023. Whoosh merupakan singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Handal. Menurut Ketua tim panel penilai lomba Identitas Jenama Kereta Cepat Indonesia, Triawan Munaf "Whoosh" memiliki arti sesuai dengan kesan pertama saat mengetahui kecepatan kereta api cepat Indonesia itu. Setelah beroperasi bagaimanakah kecepatan kinerja "Whoosh" yang berada dalam koordinasi Kementerian Perhubungan tersebut?

Pasalnya, pengelolaan bisnis kereta cepat pertama Indonesia sedang menjadi sorotan tajam publik. Mengapa menjadi sorotan publik? Tidak lain adalah kerugian yang mendera manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jasa transportasi perkeretaapian, yaitu PT. (Persero) Kereta Api Indonesia (KAI). Berdasar laporan PT. KAI per 30 Juni 2025 (unaudited) PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) selaku entitas asosiasi KAI, mencatatkan kerugian semester I/2025 sejumlah Rp1,625 triliun. Yang lebih mengejutkan, ternyata kerugian itu sudah terjadi pada tahun sebelumnya (2024), yaitu hingga Rp4,195 triliun. 

Lalu, muncullah polemik di tengah para pemangku kepentingan (stakeholders) tidak terkecuali para politisi atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang berkantor di Senayan. Sebab, dampak dari kerugian besar atau tekor jumbo pengelolaan kereta cepat yang diberi nama Whoosh ini, harus ditanggung renteng oleh empat (4) BUMN yang menjadi anggota konsorsiumnya. Para pihak konsorsium itu, adalah PT. KAI, PT Wijaya Karya Tbk (Persero/WIKA), PT Jasa Marga Tbk (Persero/JSMR), dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero/PTPN VIII).




Pertanyaan penting publik dan ini faktor kunci (key factor) kinerja manajemen sebelum adanya kerugian besar yang diderita oleh PT. KAI, adalah bagaimana sebenarnya rancangan dan pembiayaan proyek kereta cepat tersebut? Mengapa PT. KAI sebagai pimpinan konsorsium (leading consortium) dengan kepemilikan saham 58,53 persen di PT PSBI harus menanggung kerugian nyaris Rp1 triliun (tepatnya Rp951,48 miliar) pada enam bulan pertama? Tulisan ini semoga mencoba menguraikan secara urut, runut, utuh (komprehensif), wajar (fair) dan objektif atas ide awal perancangan proyeknya.

Memilih China Tanpa APBN

Transportasi berasal dari kata trans yang artinya terputus hubungan. Tetapi, menjadi terhubung ketika melekat kata portasi. Artinya, transportasi, adalah mengangkut/membawa. Dan, jasa transportasi merupakan alat vital bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Sebuah keniscayaan, kemajuan moda transportasi publik yang efektif dan efisien pada beberapa negara maju di benua Eropa dan USA cukup pesat. Hal ini tentu tidak lepas dari adanya lompatan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Lebih khusus, terjadi pada kemajuan transportasi pengangkut massal, yaitu kereta api yang berkecepatan tinggi atau kereta cepat. 

Di benua Asia, Jepang dan China merupakan dua negara utama (pioneer) yang menguasai teknologi kereta cepat ini. Hanya saja, terdapat perbedaan kecepatan teknis antara pembangunan kereta cepat di Jepang dan China. Yaitu, dalam aspek operasional (kecepatan, keamanan dan kenyamanan) dan pembangunan jaringan relnya. Kereta cepat Jepang yang beroperasi sejak tahun 1964 jaringannya lebih pendek, yaitu 3.000 km dalam waktu 25 tahun. Sementara China yang memulainya tahun 2008 jaringan rutenya sangat luas mencapai 42.000 km hanya dalam waktu 5 tahun.

Indonesia, sejak era kolonialisme Belanda pembangunan jaringan kereta api nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Meskipun, Bappenas dan LIPI berkali-kali berkolaborasi dengan Jepang melakukan penelitian kelayakan pembangunan infrastruktur perkeretaapian. Padahal, sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia Indonesia sangat membutuhkannya. Maka, muncullah gagasan adanya kereta cepat di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang mana pada 2012, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), sudah menginisiasi proyeknya dengan studi yang komprehensif

Pembangunan kereta cepat  belum terlaksana di era Presiden SBY, estafet pemerintahan pun beralih kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, keinginan untuk membangun kereta cepat muncul lagi dari Presiden Jokowi. Adalah, saat berkunjung ke China pada 9 November 2014 Presiden RI ini berkesempatan menjajal kereta cepat dari Beijing menuju Tianjin yang berjarak 120 km. Kereta cepat Beijing-Tianjin ini bernama China Railway High-speed (CRH). CRH ini mampu melesat dengan kecepatan 300 km per jam serta membuat Presiden Jokowi cukup kagum.

Dari kekaguman itu, sekembalinya dari China Presiden Jokowi menegaskan keberaniannya untuk memulai pembangunan infrastruktur strategis masa depan secara bertahap. Pada 23 April 2015 gayung pun bersambut, Menteri BUMN Rini Soemarno menyampaikan soal komitmen China untuk membantu Indonesia membangun infrastruktur, diantaranya kereta cepat. Keterlibatan China itu, termasuk kesiapan pendanaan dan teknologi dalam proyek kereta cepat untuk jalur Jakarta-Bandung. Bahkan, perbankan China melalui China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) berkomitmen memberikan pinjaman hingga USD 50 miliar. 

Untuk itulah, Kementerian BUMN bersama perusahaan-perusahaan China membentuk konsorsium bersama, terkait studi proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Pihak BUMN Indonesia menetapkan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) sebagai pimpinan manajemen proyek dengan anggota antara lain Jasa Marga, PTPN VIII, INKA, dan LEN Industri.

Sedangkan dari China konsorsium dipimpin oleh China Railway International yang beranggotakan China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, The Third Railway Survey and Design Institute Group Corporation (TSDI), China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, China Railway Signal and Communication Corp.

Selanjutnya, di pertengahan Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno menandatangani perjanjian kerjasama bantuan pendanaan terhadap sejumlah BUMN. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, yaitu mencapai USD 40 miliar, atau sekitar Rp520 triliun sebagai tanda keseriusan pemerintah Indonesia dalam proyek infrastruktur. Khusus proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintah membuka kesempatan pada negara-negara lain (termasuk Jepang) bersaing dalam memenangkan proyek yang bernilai Rp78-87 triliun

Sejak awal, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan uang rakyat atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, pemerintah juga sama-sekali tidak memberikan jaminan apapun pada proyek tersebut apabila di kemudian hari bermasalah. Maka itulah, proyek kereta cepat penghubung dua kota yang berjarak sekitar 150 kilometer tersebut seluruhnya dikerjakan oleh konsorsium BUMN dan perusahaan China dengan perhitungan bisnis (busines to business/b to b).

Komitmen pemerintah ini dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung dan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2015 (Perpres 93/2015) tentang Tim Penilai Proyeknya. Perpres ini mengamanatkan paling lambat 31 Agustus 2015 sudah ada nama pemenang proyeknya. Meskipun, nominasi kuat pemenang proyeknya telah terlihat dari keseriusan para pihak, yaitu Jepang dan China.

Pada akhirnya, China-lah yang memenangkan persaingan atas Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut. Pilihan kepada China ini tidak hanya soal proposal proyeknya yang non APBN, tapi juga tidak adanya jaminan pemerintah. Melainkan, nilai proyek yang diajukan oleh pihak Jepang lebih mahal, yaitu USD 6,2 miliar atau Rp86,8 triliun (USD 1 = Rp.14.000) dibandingkan China yang bernilai USD 5,5 miliar atau Rp77 triliun.

Faktanya, pembiayaan proyek infrastruktur kereta cepat justru mengalami peningkatan di tengah jalan (cost overrun) menjadi sejumlah USD 8 miliar atau setara Rp114,2 triliun. Tentulah publik ramai mempertanyakannya dan harus segera ditemukan faktor penyebab dan akar permasalahannya. Membengkaknya nilai proyek sejumlah USD 1,9 miliar atau Rp28,5 triliun dari rencana awal yang diajukan China harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah sebelumnya. Tidak bisa kesalahan ini hanya ditimpakan pada kinerja manajemen PT. KAI atas kerugian yang dialami pada periode 2024-2025.

Pertanyaan publik tentu saja, adalah mengapa di tengah jalan proyek kereta Jakarta-Bandung yang dikerjakan secara perhitungan bisnis (b to b) non APBN oleh konsorsium BUMN Indonesia dan perusahaan China justru tersandung sejumlah masalah? Proyek, yang seharusnya rampung pada 2019, baru selesai pada akhir tahun 2023 dengan sejumlah pelanggaran komitmen. Diantaranya, nilai pembangunan proyek membengkak secara tidak wajar dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Lebih prinsip pelanggarannya, yaitu komitmen tidak menggunakan APBN dan jaminan pemerintah  Terjadi pula peralihan pimpinan konsorsium BUMN dari PT. WIKA ke PT. KAI.

Pelanggaran komitmen yang awalnya non APBN (Menteri BUMN Rini Soemarno) tentulah diajukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan didukung oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Persetujuan penggunaan APBN oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani diterbitkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 sepengetahuan Presiden RI Joko Widodo. Artinya, ada tiga (3) pihak yang mengetahui dan bertanggung jawab atas peningkatan nilai proyek dan pelanggaran komitmen.

Lalu, tepatkah tanggung jawab pelanggaran berbagai komitmen proyek pembangunan kereta cepat "Whoosh" APBN yang dicincang? Apalagi permasalahan ini dibebankan kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan Presiden RI 2024-2029? Jawabannya jelas tidak bisa, sebab peningkatan pembiayaan di tengah jalan (cost overrun) terjadi oleh adanya pelanggaran komitmen penggunaan non APBN untuk pembangunan proyek "Whoosh" tersebut. Semestinya, pelanggaran komitmen inilah yang terlebih dahulu harus diusut aparat penegak hukum. 


(Ekonom Konstitusi)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita