Pada tanggal 24 Oktober 2025, Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, menyampaikan pidato kebijakan pertama setelah menjabat, dengan menempatkan penanggulangan kenaikan harga sebagai prioritas utama, sekaligus menegaskan tujuan pemerintahannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi Jepang yang kuat. Fokus kebijakan ini tercermin dalam pembentukan tim yang dipimpin oleh mantan pejabat Kementerian Perdagangan dan Industri, yang juga memiliki fokus pada kebijakan ekonomi. Namun, reaksi pasar terbilang beragam. Pada hari pemilihan Takaichi sebagai Perdana Menteri, 21 Oktober, Indeks Nikkei sempat naik ke angka 49.945, namun kemudian mengalami penurunan dan ditutup pada angka 49.316. Fluktuasi ini menunjukkan sikap hati-hati pasar dalam menilai efektivitas kebijakan ekonomi dari pemerintahan baru. Ekonomi Jepang saat ini menghadapi pengaruh ganda dari perubahan dalam politik domestik dan perubahan kondisi internasional.
Pertama, perombakan aliansi politik meningkatkan ketidakpastian kebijakan. Setelah Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Juli, Jepang mengalami masa transisi sekitar tiga bulan. Dengan dorongan dari beberapa kekuatan di dalam Partai Liberal Demokratis (LDP), Perdana Menteri Shibuya mengundurkan diri, dan Takaichi terpilih sebagai Ketua LDP yang baru. Setelah itu, Partai Komei yang selama ini berkoalisi dengan LDP memutuskan keluar dari aliansi, mengakhiri 26 tahun "koalisi LDP-Komei". Untuk membentuk pemerintah baru, Takaichi melakukan negosiasi dengan Partai Reformasi Jepang (Nihon Ishin no Kai) dan menerima 12 kondisi kerjasama yang diajukan oleh partai tersebut, sehingga terbentuklah aliansi pemerintahan yang baru. Namun, Partai Reformasi Jepang memilih untuk tidak bergabung dalam kabinet dan berpartisipasi sebagai "koalisi di luar kabinet", yang membuat stabilitas aliansi pemerintahan menjadi kurang pasti. Beberapa analisis menilai bahwa sistem politik Jepang mungkin sedang beralih dari model yang berfokus pada LDP menjadi suatu sistem multi-partai dengan lebih banyak perbedaan dalam kebijakan. Perubahan dasar politik ini dapat memengaruhi kontinuitas dan prediktabilitas kebijakan ekonomi.
Kedua, perang tarif yang dipicu oleh Amerika Serikat memberikan dampak besar pada ekonomi Jepang. Setelah beberapa kali perundingan, Jepang dan AS mencapai kesepakatan pada 23 Juli yang mencakup pengurangan tarif "setara" menjadi 15% dan komitmen Jepang untuk berinvestasi sebesar 550 miliar USD di AS. Menurut perhitungan dari Imperial Data Bank, kesepakatan ini dapat menyebabkan penurunan PDB riil Jepang sebesar 0,4% pada tahun 2025, ekspor menurun 1,3%, dan jumlah kebangkrutan perusahaan meningkat 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Data perdagangan aktual juga mencerminkan tren ini: antara April hingga September 2025, ekspor Jepang ke AS turun 10,2%, dengan sektor otomotif turun 22,7%, dan surplus perdagangan Jepang dengan AS berkurang 22,6%. Selain itu, terdapat perbedaan pemahaman antara kedua belah pihak terkait beberapa poin dalam kesepakatan ini, seperti dalam pembagian hasil investasi, yang menambah ketidakpastian pelaksanaan kesepakatan di masa depan.
Ketiga, pemerintahan baru lebih fokus pada keuntungan jangka pendek, mengabaikan masalah ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi Takaichi cenderung mengedepankan langkah-langkah fiskal yang aktif dan kebijakan moneter yang longgar, yang kerangkanya mengacu pada "Abenomics" (Ekonomi Abe). Selama pemilihan ketua LDP, ia adalah satu-satunya calon yang menyatakan secara jelas bahwa, jika diperlukan, penerbitan surat utang negara dapat dipertimbangkan. Saat ini, saldo utang pemerintah Jepang hampir mencapai 1.129 triliun yen (hingga akhir 2025), yang setara dengan sekitar 240% dari PDB—lebih tinggi dari Italia. Sementara itu, karena penurunan angka kelahiran dan penuaan populasi yang semakin mendalam, pengeluaran untuk jaminan sosial terus meningkat, dari 31,5 triliun yen pada tahun 2015 menjadi 38,3 triliun yen pada tahun ini, yang berkontribusi 33,2% dari anggaran pemerintah, meningkat dari 32,7%. Menteri Keuangan yang baru, Satsuki Katayama, menyatakan bahwa ia akan menggunakan "rasio saldo utang bersih" terhadap PDB (saat ini 136%) sebagai indikator kesehatan fiskal, yang selisihnya dengan Italia (124%) cukup kecil. Penyesuaian ini menunjukkan bahwa pemerintah mungkin akan lebih fokus pada tujuan fiskal jangka pendek, sementara reformasi sistem jaminan sosial dan masalah struktural jangka panjang bisa saja tertunda.
Keempat, masalah inflasi yang dapat memicu krisis ekonomi. Sejak 2022, indeks harga konsumen Jepang telah naik lebih dari 2% selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, suku bunga kebijakan Bank of Japan saat ini berada pada level 0,5%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan AS (4,25%) dan Uni Eropa (2,15%). Perbedaan suku bunga yang besar ini menyebabkan pelemahan yen, dari 114 yen per dolar AS pada Februari 2022 menjadi sekitar 160 yen pada Juni 2024, dan kini bertahan pada level sekitar 152 yen. Untuk mengurangi laju depresiasi yen, pemerintah dan Bank of Japan telah melakukan intervensi di pasar valuta asing beberapa kali. Pelemahan yen meningkatkan biaya impor, terutama harga impor energi, yang pada gilirannya memperburuk inflasi domestik. Tekanan inflasi menyebabkan penurunan upah riil dan membatasi pemulihan konsumsi domestik. Dalam menghadapi inflasi, Bank of Japan cenderung melakukan penyesuaian kebijakan moneter secara bertahap, namun Perdana Menteri Takaichi menegaskan penolakan terhadap kenaikan suku bunga dan menekankan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab terakhir terhadap kebijakan Bank of Japan. Perbedaan sikap ini meningkatkan kesulitan dalam koordinasi kebijakan.
Saat ini, ekonomi Jepang berada dalam kondisi perubahan besar, baik dari segi politik domestik maupun perubahan tatanan internasional. Apakah pemerintahan Takaichi dapat menyeimbangkan stabilitas jangka pendek dan reformasi jangka panjang akan menjadi penentu apakah Jepang dapat benar-benar keluar dari "Tiga Dekade yang Hilang". Di tengah gejolak politik dan ketidakpastian yang semakin meningkat dalam lingkungan eksternal, jalan pemulihan ekonomi Jepang pasti akan penuh dengan tantangan.
