Purbaya dan Akhir dari Politik Ternak Kekuasaan

Purbaya dan Akhir dari Politik Ternak Kekuasaan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


OLEH: PAUL EMES*
Ia berani menolak perintah lama dan proyek ambisius baru. Sebuah contoh integritas di tengah budaya feodal birokrasi yang membutakan nalar publik.

DI tengah kultur birokrasi yang sering tunduk pada kekuasaan, langkah Menteri Purbaya terasa menyegarkan. Setelah sebelumnya menolak penggunaan APBN untuk menutup utang kereta cepat Jakarta-Bandung, proyek ambisius masa lalu yang kini terbukti membebani keuangan negara, ia kembali menunjukkan keberanian serupa dengan menolak pendanaan proyek “Family Office” di Bali, gagasan megah Luhut Binsar Pandjaitan.

Keputusan ini tidak sekadar soal teknis fiskal. Ia adalah pernyataan moral dan politik tentang integritas seorang pejabat negara. Purbaya yang pernah menjadi bawahan langsung Luhut bisa saja memilih jalan aman dengan mengikuti kemauan sang mantan atasan. Namun ia memilih jalan sulit: berdiri di sisi publik, bukan di bawah bayang-bayang pribadi.




Dalam budaya politik Indonesia, di mana rasa utang budi sering lebih kuat daripada tanggung jawab publik, sikap ini merupakan anomali yang membahagiakan. Banyak pejabat masih terjebak pada logika feodal: tunduk pada senior, diam pada kekeliruan, dan bersembunyi di balik loyalitas personal. Tapi Purbaya membalikkan logika itu: menghormati bukan berarti membenarkan, dan setia bukan berarti harus ikut salah.

Langkah ini memberi pesan kuat: pejabat yang baik bukan mereka yang pandai menyenangkan atasan, tetapi yang berani menegakkan kebenaran meski melawan arus.

"Jika seseorang, seberapa pun jasanya padamu, sedang membawa negeri ini ke jurang, maka tugasmu bukan mengikutinya melainkan menghentikannya.”

Sikap seperti ini menunjukkan lahirnya etika baru dalam pemerintahan, di mana loyalitas utama bukan kepada individu atau kelompok, tetapi kepada negara dan rakyat. Purbaya menolak menjadi bagian dari “ternak kekuasaan” istilah yang kini terasa relevan bagi banyak politisi dan pejabat yang kehilangan arah moral karena beban balas budi.

Dalam konteks pemerintahan Prabowo, langkah ini sejalan dengan upaya membangun rasionalitas fiskal dan disiplin anggaran. Pemerintah tampak mulai menertibkan proyek-proyek warisan yang tidak produktif dan membebani APBN, sembari menegakkan prinsip bahwa uang rakyat hanya boleh digunakan untuk kepentingan rakyat.

Keberanian Purbaya menolak proyek ambisius “Family Office” di Bali menandai fase baru: pejabat publik yang tidak takut kehilangan posisi demi menjaga akal sehat negara. Ia mengingatkan bahwa menjadi menteri bukanlah soal siapa yang pernah memberi kesempatan, tetapi soal keberanian menjaga kepercayaan rakyat.

Dalam republik yang sering disandera oleh utang politik dan persekutuan bisnis, sikap seperti ini adalah oksigen moral yang menyehatkan. Dan di tengah kelelahan publik pada elit yang saling melindungi kesalahan, Purbaya memberi contoh bahwa pejabat yang berintegritas masih mungkin ada dan masih mungkin berani berkata “tidak.”

*(Penulis merupakan bagian dari komunitas pengecer politik nilai.)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita