GELORA.CO - Proyek family office yang digagas oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, dipastikan tidak akan menerima pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengalokasikan dana publik untuk proyek tersebut, yang awalnya digadang-gadang menjadi magnet investasi baru sejak era Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Penolakan ini menandai titik balik penting dalam arah kebijakan ekonomi nasional.
Purbaya menilai, penggunaan APBN untuk proyek seperti family office tidak tepat dan tidak termasuk prioritas pembangunan nasional.
“Saya sudah dengar lama isu itu, tapi biar saja. Kalau DEN bisa bangun sendiri, ya bangun saja sendiri. Saya anggarannya enggak akan alihkan ke sana,” ujar Purbaya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin, 13 Oktober 2025.
APBN Harus Tepat Sasaran dan Minim Kebocoran
Purbaya menekankan pentingnya akuntabilitas penggunaan anggaran negara. Ia menegaskan bahwa setiap rupiah APBN harus diarahkan pada program yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
“Saya fokus, kalau kasih anggaran tepat, nanti pas pelaksanaannya tepat waktu, tepat sasaran dan nggak ada yang bocor, itu saja,” imbuhnya.
Dengan sikap tegas tersebut, Purbaya secara tidak langsung menutup peluang proyek family office mendapatkan dukungan fiskal pemerintah.
Langkah ini juga dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin lebih berhati-hati dalam membiayai proyek strategis yang berisiko tinggi dan belum terbukti memberikan return on investment nyata.
Asal-Usul Family Office: Gagasan dari Era Jokowi
Gagasan family office pertama kali diluncurkan oleh Luhut Pandjaitan pada Mei 2024, saat dirinya masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kala itu, Luhut menyebut proyek tersebut akan menjadi wadah pengelolaan kekayaan bagi konglomerat domestik maupun internasional, sebuah sistem yang memungkinkan investor global menanamkan modalnya secara efisien di Indonesia.
Luhut kerap mencontoh Singapura, Hong Kong, dan Abu Dhabi sebagai model sukses family office yang berhasil menarik triliunan dolar investasi.
“Negara seperti Singapura sudah punya 1.500 family office. Kita bisa meniru mereka,” ujar Luhut kepada media di Jakarta, Mei 2024 lalu.
Berdasarkan estimasi pemerintah kala itu, skema ini berpotensi menarik investasi hingga 500 miliar dolar AS atau sekitar Rp8.151 triliun dalam beberapa tahun ke depan—angka yang fantastis untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.
Luhut Tak Menyerah, Harap Restu dari Presiden Prabowo
Meski kini pemerintahan telah berganti di bawah Presiden Prabowo Subianto, Luhut yang kini memimpin DEN menegaskan proyek family office tetap berlanjut.
Ia berharap Presiden Prabowo memberi lampu hijau agar proyek itu segera dieksekusi.
“Saya kira masih berjalan, kita lagi kejar terus. Kita harap bisa segera diputuskan presiden,” kata Luhut di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, pada 28 Juli 2025.
Namun, tanpa dukungan pendanaan dari Kementerian Keuangan, proyek ini kini sepenuhnya bergantung pada inisiatif sektor swasta dan kerja sama investor global.
Meniru Abu Dhabi Tidak Semudah yang Dikira
Secara global, konsep family office berkembang pesat di negara dengan regulasi keuangan yang ramah pajak dan stabil, seperti Abu Dhabi, Singapura, dan Hong Kong.
Negara-negara tersebut sukses menciptakan ekosistem investasi yang efisien berkat sistem hukum dan birokrasi yang transparan.
Namun, menurut sejumlah analis keuangan, meniru model tersebut di Indonesia bukan perkara mudah.
Selain perlu reformasi regulasi pajak dan perizinan, dibutuhkan pula infrastruktur hukum dan fiskal yang kuat agar tidak menjadi celah penyalahgunaan dana atau tax haven terselubung.
Ekonom Universitas Indonesia, misalnya, menilai penolakan Purbaya bisa menjadi langkah preventif yang sehat.
“Kita tidak bisa meniru model Abu Dhabi mentah-mentah. Butuh kesiapan sistem pengawasan dan tata kelola,” kata seorang pengamat keuangan yang enggan disebut namanya.
Arah Baru Kebijakan Fiskal: Fokus pada Program Rakyat
Dengan sikap tegas Menkeu Purbaya, pemerintah kini mempertegas komitmen untuk menjaga disiplin fiskal dan memastikan APBN digunakan secara efisien.
Proyek ambisius tanpa urgensi publik kemungkinan besar tidak akan lagi mendapat ruang dalam kebijakan keuangan negara.
Ke depan, arah kebijakan fiskal Indonesia tampaknya akan lebih fokus pada program konkret yang menyentuh masyarakat, seperti penguatan UMKM, transformasi digital, dan pembangunan infrastruktur dasar yang inklusif.
Penolakan terhadap proyek family office bisa jadi menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin meninggalkan warisan proyek “elitis” dan beralih ke arah pembangunan yang lebih people-centered.***
Sumber: hukama