GELORA.CO -Ramalan politik di Indonesia selalu menyimpan daya tarik tersendiri. Salah satunya adalah ramalan Jayabaya, pujangga Jawa kuno, yang hingga kini masih sering dijadikan bahan perbincangan serius maupun guyonan politik.
Dalam ramalan itu disebutkan, pemimpin Nusantara akan memiliki nama dengan akhiran No-To-No-Go-Ro. Frasa ini dimaknai sebagai noto nogoro, yang berarti “menata negara”. Meski sekilas terdengar simbolis, pola tersebut diyakini sebagian kalangan tetap relevan hingga hari ini.
Jika ditelusuri, benang merah itu memang tampak pada sejumlah presiden RI. Soekarno, presiden pertama, menutup namanya dengan “No”. Soeharto, presiden kedua, berakhir dengan “To”. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono kembali menghadirkan akhiran “No” pada era kepemimpinannya.
Bahkan Joko Widodo pun kerap dimasukkan dalam pola tersebut. Alasannya, nama asli Jokowi saat lahir adalah Mulyono sebelum kemudian diganti menjadi Joko Widodo.
“No lagi; Mulyono. Kenapa Mulyono? Jokowi itu saat lahir nama aslinya Mulyono, karena berulang kali sakit-sakitan ibunya lalu mengganti nama jadi Joko Widodo. Jadi Jokowi masuknya di No; Mulyono,” terang mantan politikus Gerindra Arief Poyuono saat berbincang dengan RMOL, seperti dikutip kembali pada Minggu, 21 September 2025.
Namun, pola ini kerap menimbulkan pertanyaan ketika menyentuh nama Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Ketiganya tidak dimasukkan ke dalam rangkaian karena dianggap memimpin dalam periode singkat, kurang dari lima tahun.
Kini publik kembali berspekulasi apakah Presiden ke-8, Prabowo Subianto, masuk dalam kerangka ramalan Jayabaya? Dari sisi nama memang tidak persis cocok. Tapi namanya juga ramalan?"kadang pas, kadang harus dipas-paskan agar sesuai kenyataan.
Lebih jauh, sebagian penafsir menyebut bahwa suku kata “Goro” dalam ramalan bukanlah tanda akhiran nama, melainkan gambaran situasi ketika seorang pemimpin berkuasa. Dalam bahasa Jawa, goro berarti dusta atau kebohongan.
Sementara goro-goro kerap dimaknai sebagai huru-hara atau kekacauan. Dua tafsir ini saling berkaitan yaitu kebohongan bisa menjadi pemantik utama munculnya kegaduhan sosial maupun politik.
Lalu, di manakah posisi Joko Widodo dalam konteks ramalan ini?
Beberapa penafsir meyakini Jokowi berada di fase goro. Mereka menilai, sejak awal kepemimpinannya sudah tampak bayangan potensi kekacauan, berupa kekecewaan, pengkhianatan, hingga kemarahan publik. Kondisi inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai goro-goro, sebuah masa penuh gejolak yang mengiringi kepemimpinan.
Meski Jokowi kini telah lengser, sebagian kalangan percaya bahwa “warisan goro” itu tidak berhenti begitu saja. Aura itu diyakini berpindah ke putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.
Apakah tafsir ini benar adanya atau sekadar ramalan yang dipaksakan agar selaras dengan realitas politik, hanya waktu yang bisa menjawab.
Namun satu hal pasti ramalan Jayabaya akan terus hidup di ruang obrolan politik Indonesia, dari warung kopi hingga ruang seminar, sebagai jalinan antara mitos, sejarah, dan drama kekuasaan.
Sumber: RMOL