GELORA.CO - Pengawasan terhadap program makan bergizi gratis (MBG) menjadi sorotan publik setelah banyaknya laporan kasus keracunan yang dialami siswa.
Tercatat, ratusan siswa di 16 provinsi mengalami keracunan usai menyantap menu MBG dengan total mencapai 5.626 kasus.
Dari 5.000-an kasus keracunan MBG itu, Jawa Barat menempati peringkat tertinggi dengan laporan sebanyak 2.051 kasus.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan melakukan evaluasi secara total pelaksanaan program MBG di wilayahnya.
Dedi Mulyadi melihat, ada dua hal yang perlu dievaluasi yakni soal kualitas menu makanan yang disajikan, serta kemampuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai vendor pelaksana kegiatan.
"Pertama, penyelenggara kegiatannya mampu atau tidak dan yang kedua, makanan yang disajikan sesuai dengan harga atau tidak," kata Dedi Mulyadi di Bale Pakuan, Kota Bogor, Rabu (24/9/2025).
"Kedua hal itu yang akan menjadi objek penyelidikan saya, artinya, saya akan mengevaluasi dalam dua hal itu," lanjutnya.
Dalam sepekan ini, Dedi Mulyadi akan bertemu dengan pengelola SPPG di Jawa Barat.
Hal itu dilakukan untuk melihat serta memastikan unsur kelayakan pelayanan.
Jika ditemukan adanya pengelola SPPG yang tidak memenuhi standar pelayanan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan mengambil tindakan tegas berupa penggantian.
"Kalau ternyata tidak mampu dan angka keracunan tetap tinggi, tentu harus ada evaluasi, vendor pelaksana yang tidak sesuai dengan harapan harus diganti," kata Dedi Mulyadi.
Ia mengatakan, banyak siswa yang akhirnya menjadi trauma akibat kasus ini.
Meski belum ada laporan korban jiwa, namun kasus keracunan MBG menimbulkan dampak serius terhadap kondisi psikis para siswa.
"Walau tidak ada (laporan kasus) meninggal, anak-anak yang seharusnya mendapat asupan gizi justru keracunan, itu menimbulkan trauma," kata Dedi Mulyadi.
Menurutnya, kasus keracunan MBG terjadi karena adanya ketimpangan antara jumlah peserta penerima MBG dengan jumlah pelayan di SPPG.
Selain itu, jarak atau lokasi distribusi yang jauh serta pola penyajian makanan yang tidak sesuai turut memicu kasus keracunan.
"Misalnya, masaknya jam 1 malam, tapi disajikan jam 12 siang, jarak waktunya terlalu lama, itu perlu dievaluasi," kata Dedi Mulyadi.
"Kalau penyelenggara tidak mampu, ya harus diganti dengan yang lebih mampu," jelasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dampak Kasus Keracunan MBG di Jabar: Siswa Trauma dan SPPG Bakal Dievaluasi"
Sumber: Wartakota