GELORA.CO -Kabar jatuhnya helikopter yang ditumpangi Presiden Ebrahim Raisi pada Minggu (19/5) merupakan momen tersulit yang dihadapi Iran.
Pasalnya, Raisi merupakan orang terpenting kedua di Iran setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Kematiannya, jika dikonfirmasi, akan mempunyai konsekuensi yang luas.
Dalam waktu dekat, Wakil Presiden Mohammad Mokhber akan mengambil alih kekuasaan menggantikan Raisi dengan izin Khamenei.
"Berdasarkan pasal 131 konstitusi Republik Islam, jika seorang presiden meninggal saat menjabat, maka wakil presiden pertama akan mengambil alih jabatan tersebut, dengan persetujuan dari pemimpin tertinggi, yang mempunyai keputusan akhir dalam segala urusan negara," ungkap laporan Reuters.
Kemudian, sebuah dewan yang terdiri dari wakil presiden pertama, ketua parlemen dan ketua pengadilan harus mengatur pemilihan presiden baru dalam jangka waktu maksimal 50 hari.
Raisi terpilih sebagai presiden pada tahun 2021 dan, berdasarkan jadwal saat ini, pemilihan presiden harusnya berlangsung pada tahun 2025.
Setelah demonstrasi anti-pemerintah selama bertahun-tahun, menyusul kematian Mahsa Amini pada tahun 2022, mungkin ini adalah momen bagi gerakan protes untuk bangkit kembali.
Ada juga banyak kelompok pembangkang di Iran, termasuk cabang ISIS yang mungkin akan mengambil keuntungan dari kematian Raisi.
Raisi tidak begitu populer di Iran. Ia menjadi presiden pada tahun 2021 untuk kedua kalinya dengan dukungan suara 41 persen, terendah sejak revolusi tahun 1979.
Pengganti Raisi kemungkinan besar adalah kandidat terpilih dari pemimpin tertinggi dan tentunya kelompok garis keras ultra-konservatif lainnya.
Dalam jangka panjang, kematian Raisi akan berdampak pada pemimpin tertinggi Iran. Dia dianggap sebagai salah satu dari dua kandidat terdepan untuk menggantikan Ayatollah Ali Khamenei.
Setelah Raisi dinyatakan meninggal, maka putra Khamenei, Mojtaba akan menjadi kandidat satu-satunya
Sumber: RMOL