OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
PASAL 24C UUD 1945 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mencantumkan 3 kata “Undang-Undang Dasar”. Tanpa perlu perdebatan, seperti namanya, MK jelas merupakan penjaga Undang Undang Dasar (konstitusi). Masuk akal bila hakim MK yang hanya 9 orang tersebut harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara (ayat (5)).
Demikian hebatnya tugas pokok dan fungsi hakim MK, dalam UUD 1945 hanya pada mereka dilekatkan kata “negarawan.” Sebagai negarawan yang sudah selesai dengan dirinya, hakim MK adalah mereka yang bergeming pada intimidasi dan iming-iming, bahkan dengan ancaman nyawa dan/atau mendapatkan uang ratusan triliun sekalipun.
Sebagai negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, hakim MK memahami betul bahaya dari penguasa yang sewenang-wenang, yang merasa dirinya di atas UUD 1945 dan karenanya boleh melanggar semua produk hukum yang diturunkan darinya.
Tidak berlebihan bila dikatakan, di pundak 9 hakim inilah keberlangsungan sebuah negara diletakkan. Hakim MK sadar betul kekuasaan yang sewenang-wenang bukan hanya cenderung korupsi, tetapi juga terjadi lantaran korupsi. Korupsi melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan semakin sewenang-wenang karena bisa menyandera sesama koruptor (jeruk makan jeruk).
Dengan satu kalimat majemuk Lord Acton menyebut, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.” Kalimat yang terkenal ini ditulis oleh Lord Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton pada 5 April 1887.
Penulis merasa perlu mengutip 3 kalimat yang mendahului kalimat yang terkenal di atas dan 3 kalimat setelahnya, "Saya tidak dapat menerima kanon Anda bahwa kita harus menghakimi Paus dan Raja tidak seperti orang lain, dengan anggapan yang baik bahwa mereka tidak melakukan kesalahan. Kalaupun ada anggapan, hal itu justru sebaliknya terhadap pemegang kekuasaan, semakin meningkat seiring meningkatnya kekuasaan. Tanggung jawab historis (yakni, penilaian para sejarawan di kemudian hari) harus menutupi kekurangan tanggung jawab hukum (yakni konsekuensi hukum selama masa hidup penguasa). Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Orang-orang hebat hampir selalu merupakan orang-orang jahat, bahkan ketika mereka mempunyai pengaruh dan bukan otoritas: terlebih lagi jika Anda menambahkan kecenderungan atau kepastian korupsi oleh otoritas. Tidak ada bid'ah yang lebih buruk daripada jabatan yang menguduskan pemegangnya. Itulah titik di mana ... tujuan akhirnya belajar menghalalkan segala cara.”
Pemahaman yang mendalam atas 7 kalimat di atas niscaya membuat hakim konstitusi memahami betul kata “gawat” yang pernah dilontarkan oleh Romo Magnis Suseno bila negara kita dipimpin oleh orang yang abai pada etika.
Hakim konstitusi tentu bisa memprediksi implikasi lanjutan dari keberlangsungan dari negara kita bila nantinya dipimpin oleh Presiden dan Wapres yang dalam proses pencalonannya telah melanggar aturan di bawah UUD 1945 dan dalam implementasinya patut diduga tidak memenuhi standar moral.
Bila Lord Acton mengatakan, “standar moral yang sama harus diterapkan pada semua orang, termasuk para pemimpin politik dan agama,” Magnis Suseno justru menuntut standar moral seorang Presiden harus jauh lebih tinggi bila ia tidak mau disebut seperti pemimpin mafia atau sekelas karyawan toko yang mengambil uang dari kas toko untuk kepentingan pribadi.
Saatnya MK Membuat Sejarah dan Meninggalkan Legacy
Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 membuat konstitusi kita ini memiliki sekaligus 2 landasan: landasan ideologi (dasar filsafat Pancasila) dan konstitusional.
Luar biasanya, konstitusi kita (alinea ke-4) juga memuat fungsi dan tujuan Negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bila dicermati, suara (voice) kenabian yang dikumandangkan keras oleh akademisi, ulama, dan beragam tokoh masyarakat niscaya telah memekakkan telinga (menimbulkan noise) pada penguasa.
Sejatinya, voice itu sendiri lahir dari noise penguasa yang menerbitkan banyak turunan konstitusi yang menabrak konstitusi itu sendiri sampai melahirkan anak haram konstitusi, UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat (yang revisinya pun secara substansi tidak berubah), dan sejumlah aturan, termasuk yang dimuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP.
Voice MK yang menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 21 Maret 2024 telah membuka harapan baru bukan hanya bagi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, tetapi juga semua orang yang menginginkan (penyelenggara) Negara menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan sebaliknya.
Bila ditilik jauh lebih dalam, kebanyakan perkara yang muncul di MK berangkat dari perbedaan tafsir voice dan noise dari materi sebuah UU dan keraguan (distrust) tentang hasil pemilu legislatif, pemilukada, dan pilpres.
Dalam sengketa tentang hasil Pilpres 2024, distrust kepada Pemerintah, KPU, dan Bawaslu sudah muncul ketika nama-nama bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden mulai digadang-gadang sejumlah pihak melalui polster, buzzer, dan influencer.
Kini orang yang tidak memakai kacamata kuda dengan mudah melihat voice dan noise dari 2 pemohon versus termohon dan pihak terkait bermuara pada distrust kepada Pemerintah yang akan datang bila hakim MK mengesahkan hasil KPU. Bila distrust kepada Pemerintah mendatang semula dengan lantang disuarakan oleh Tim Paslon 1, belakangan juga oleh Tim Paslon 3.
Tentu distrust itu kini di mata kedua tim melalui pemohon masing-masing mencakup ketidakmampuan Negara (baca: Pemerintah yang akan dijalankan oleh Paslon 2) memenuhi ke-4 tujuan dan fungsi negara di atas.
Kedua pemohon dan mereka yang pesimis mengatakan, “Alih-alih Indonesia emas pada 2045, yang terjadi malah Indonesia cemas".
Lebih dari sekadar Indonesia cemas, Penulis memaknai pernyataan Romo Magnis di MK 2 April 2024 lalu dan kata “gawat” di sebuah forum sebagai kekhawatiran beliau bahwa Indonesia menjadi tinggal nama seperti Soviet dan Yugoslavia atau menjadi bagian dari Tiongkok sebelum 2045.
Bila dalam bulan April 137 tahun silam John Emerich Edward Dalberg (nama lengkap Lord Acton) telah membuat surat yang bersejarah, kini saatnya minimal 4 hakim MK termasuk hakim Suhartoyo membuat putusan bersejarah yang memastikan keberlangsungan Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang keterpilihan kepala negaranya tanpa cawe-cawe asing dan/atau penguasa petahana.
Sebaliknya, cukup dengan menebar ketakutan dan/atau cuan yang jumlahnya wah pada 4 hakim MK (termasuk Suhartoyo), alih-alih membuat putusan yang menjadi kado Idulfitri (baca: legacy) bagi bangsanya (minimal dengan mendiskualifikasi Gibran), malah hakim MK kini menyetop ketakutan diri dan keluarganya, namun menebar ketakutan pada jutaan orang, Penulis, dan mungkin anak cucu mereka di kemudian hari.