GELORA.CO - Pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan menceritakan pengalamannya ketika memberikan kesaksian pada sidang Mahkamah Kostitusi pada awal pekan ini selaku ahli yang diajukan THN AMIN (Tim Hukum Nasional Anies-Muhaimin). Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang mengontrol pejabat negara dan kepala desa mengikuti sikapnya yang mendukung salah satu calon peserta pilpres yang ada anaknya maju sebagai calon wakil presiden.
“Berbeda dengan aparatur sipil negeri (ASN) yang diwajibkan netral dalam pemilu, pejabat negara sebagai politisi seperti presiden dan menteri dalam UU Pemilu No.7/2017 memang diperkenankan ikut kampanye. Namun mereka harus cuti dan dilarang menggunakan fasilitas negara,’’ kata Djohermansyah Djohan, dalam perbincangan dengan KBA News, Jumat, 5 April 2024.
Menurutnya, Presiden Jokowi dan menteri-menteri loyalisnya selaku pembantunya, tentu akan kasak-kusuk dengan berbagai cara sesuai kewenangan yang dimiliki untuk memenangkan Pilpres 2024 untuk pasangan calon (paslon) 02. Kenyataan ini terlihat secara jelas dalam berbagai pemberitaan di media massa.
‘’Tindakan yang masuk dalam ketegori ‘fraud’ (curang) terjadi kasat mata. Ini tampak melalui liputan media, yaitu dengan digunakannya fasilitas negara dalam mendukung kemenangan paslon 02, dan tidak diambilnya cuti di luar tanggungan negara oleh Presiden Jokowi dan menterinya. Bahkan dari dalam mobil dinas kepresidenan muncul acungan dua jari sebagai kode paslon 02,’’ katanya.
Selaku mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan mantan penjabat gubernur Riau, Djohermansyah secara tegas menyatakan bila tindakan Presiden Jokowi dan para pembantunya itu pasti berkontribusi terhadap capaian suara paslon 02.
Lanjutnya, pada saat yang bersamaan tindakan itu sekaligus juga telah merugikan paslon 01 dan paslon 03.
’’Padahal konstitusi negara menyatakan presiden itu harus netral dalam pemilu. Maka presiden selaku kepala negara sekaligus juga kepala pemerintahaan tidak dapat melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan pihak lain dan dirinya sendiri.”
Sama halnya dengan menguasai pejabat negara, tambah dia, Presiden Jokowi juga melakukan penggalangan para kepala desa. Hal ini jelas tidak diperbolehkan karena aturan perundangan menyatakan kepala desa tidak dapat terlibat dalam politik praktis.
‘’Semenjak zaman dahulu ada ujaran bahwa siapa menguasai kepala desa, maka dia akan mendapatkan suara. Pemerintahan Orde Baru Soeharto telah memprakikkannya dengan masif pada setiap pemilu. Sehingga Golkar selalu menang besar,’’ ujarnya.
Pada Pilpres 2024, lanjut Djohermansyah, tindakan curang penguasa Orde Baru itu oleh paslon 02 dengan dukungan ‘cawe-cawe’ diulangi oleh Presiden Jokowi. Hal ini dilakukan lewat penggalangan kepala desa pada berbagai pertemuan dan komitmen untuk mengegolkan Revisi UU Desa No.6/2014, yang antara lain memuat penambahan lama masa menjabat kepala desa dari enam tahun menjadi delapan tahun per periode.
“Bahkan, Presiden Jokowi menerima sendiri delegasi kepala desa di Istana Negara tanpa didampingi menteri terkait.”
Dengan demikian, apa yang dilakukan paslon 02 maupun Presiden Jokowi tentu telah mendongkrak suara paslon 02 di desa-desa pada Pilpres 2024 yang baru lalu itu. Perolehan suara paslon tersebut terdongkrak naik berkat wibawa dan pengaruh kepala desa kepada warganya/konstituennya.
“Maka itu kemudian jelas terbukti bila perilaku paslon 02 yang menyeret kepala berpolitik telah menabrak aturan UU Desa No.6/2014 yang melarang kepala desa ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilu.”
“Para pejabat kepala daerah yang berwenang mencegah tindakan kepala desa tersebut umumnya melakukan “pembiaran” (tutup mata) tindakan curang itu,’’ kata Djohermansyah Djohan menegaskan.
Sumber: kba