Sengketa Pilpres 2024 Lewat MK Dinilai Akan Sia-sia karena Margin Suara Terlalu Jauh

Sengketa Pilpres 2024 Lewat MK Dinilai Akan Sia-sia karena Margin Suara Terlalu Jauh

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Sengketa Pilpres 2024 Lewat MK Dinilai Akan Sia-sia karena Margin Suara Terlalu Jauh


GELORA.CO - Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengungkapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan situasi sekarang dengan pelanggaran etik yang dilakukan salah satu hakimnya tidak bakal bisa menjawab hal-hal yang ingin dikuak mengenai dugaan pelanggaran pemilu 2024.

Hal ini ia sampaikan di diskusi media GIAD (Gerakan Indonesia Adil dan Demokratis) "Angket Pemilu: Rilis 30 Nama Anggota DPR Didorong Ajukan Hak Angket" pada Selasa (27/2/24).

Belum lagi, Gap suara yang jauh antara 02 dan 01 menurutnya membuat penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK tak menguak banyak hal di Pemilu 2024 karena bakal berkutat pada hal administratif.

“Kalau ranah pileg bisa diproses tapi kalau ranah pilpres dengan internal yang jauh saya rasa cukup lebar sehingga untuk sengketa hasil di MK rasanya tidak mungkin, tapi dengan semua dugaan kecurangan yang ada kami mengusulkan sangat penting menggunakan hak angket,” jelasnya.

Ari mengungkapkan ada persoalan serius di Pemilu 2024. Ia mengklaim jauh-jauh hari sebelum elite politik khususnya dari kubu 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD) bersuara soal Hak Angket DPR RI terhadap penyelenggaraan pemilu, komunitas masyarakat sipil sudah terlebih dahulu mendorongnya.

Suara digulirkannya hak angket inilah yang sampai sekarang terus terdengar karena ada indikasi kecurangan bahkan kejahatan pemilu 2024.

“Kami komunitas masyarakat sipil menganggap ada persoalan serius dalam Pemilu 2024,” ungkapnya.

“Menjelang 3 hari setelah Pemilu dengan semua potensi dugaan kecurangan yang mungkin, kami komunitas GIAD melalui bang Ray (Ray Rangkuti) mengusulkan bagaimana hak angket digulirkan kemudian disambut capres 03 kemudian direspons oleh capres dan partai 01 kemudian sekarang terus bergulir,” jelasnya.

Pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan oleh petinggi MK dan KPU menurut Ari menunjukkan bahwa ada hal yang jauh lebih besar sekadar hal administratif belaka.

Karenanya penyelesaian lewat jalur politik yakni hak angket DPR RI diperlukan untuk menjawab persoalan yang jadi pembicaraan di masyarakat khususnya soal dugaan kecurangan.

“Jadi ketika ada pelanggaran etik di MK dan KPU dalam semua itu sebenarnya mengatakan bukan hanya pelanggaran tapi saya mengatakan ada kejahatan pemilu di sana. Ketika ada kejahatan pemilu yang kemudian saya rasa tidak cukup diselesaikan pada proses administratif dan mungkin dikecilkan pada proses sengketa hasil makanya penting sebuah kejahatan politik tentu harus diproses melalui ranah politik. Makanya hak angket yang kemudian jadi ranah politik jadi hal yang sangat dibutuhkan dan penting untuk didorong terus,” jelasnya.

Sementara itu, Dosen Universitas Bung Karno, Faisal Chaniago mengatakan, hak angket berfungsi untuk mengawasi kinerja eksekutif dan lembaga terkait. Sehingga tidak tepat jika dijadikan upaya untuk menggagalkan Pemilu.

“Hak angket berfungsi untuk mengawasi eksekutif dan lembaga terkait lain. Tidak bisa menggagalkan hasil pemilu. Ranah hukum kecurangan pemilu ada di Bawaslu dan MK,” katanya di Jakarta, Jumat (23/2).

Dia menjelaskan, apabila laporan sudah diterima Bawaslu, maka akan dilakukan penyelidikan. Bilamana ditemukan kecurangan, maka nantinya Bawaslu yang akan menentukan. Mulai dari Pemungutan Suara Ulang hingga Pemungutan Suara Lanjutan. “Soal keputusan kemenangan ada pada MK. MK yang punya domain soal ini,” tegasnya.

Mengenai wacana hak angket, Faisal menerangkan, merupakan upaya yang dilakukan oleh pihak yang tidak bisa menerima kekalahan. Padahal saat ini masyarakat masih menunggu keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait perhitungan suara.

“Mereka tidak siap terima atas kekalahan. Mereka belum siap dalam berdemokrasi. Menang kalah dalam pemilu itu wajar. Kalau masyarakat siap. Yang tidak siap itu elit politik. Masyarakat akhirnya bisa bosan melihat tingkah laku elit yang tidak profesional,” tutupnya.

Sumber: wartaekonomi
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita