Penulis: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Civil disobedience atau pembangkangan warga sipil terhadap penguasa pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf Amerika bernama Henry David Thoreau pada tahun 1849. Pemahaman Henry David terkait fenomena pembangkangan model obedience movement ini, sebagai kausalitas politik antara subyek sipil atau warga negara dengan pihak penguasa pemerintahan.
Teori Henry David, mengatakan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk menolak memberikan kesetiaan kepada penguasa, terutama ketika tirani atau inefisiensi semakin membesar dan tak tertahankan.
Gerakan pembangkangan ini adalah menggunakan metode diam atau pengabaian terhadap kewajiban yang sudah menjadi norma-norma ketentuan dari penguasa pemerintah penyelenggara negara. Dalam makna yuridis, publik tidak mau mematuhi ketentuan-ketentuan atau berbagai diskresi yang diberlakukan oleh presiden atau para penguasa publik lainya, seperti Perppu, Kepres serta PP atau Kepmen dan bentuk regulasi lainnya. Namun publik merasakan ketentuan yang dikeluarkan para penguasa tidak pro kepada mereka. Melainkan hanya demi kepentingan segelintir orang (oligarki).
Selebihnya garis kebijakan penguasa pemerintahan penyelenggara negara di sektor politik ekonomi, dan sektor penegakan hukum, ditandai dengan banyaknya korupsi yang dilakukan oleh aparatur sipil atau pejabat publik namun tidak diproses. Sehingga hilang kepastian hukum, lalu akhirnya menimbulkan kesenjangan sosial dan terganggunya roda kehidupan perekonomian masyarakat.
Jika diilustrasikan dengan kondisi politik di tanah air, civil disobedience adalah bentuk protes masyarakat, sebagai wujud publik menolak untuk membayar pajak atas harta yang mereka miliki dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergerak, seperti pajak kendaraan bermotor, pajak tanah, tidak mau membayar iuran listrik, dan atau tidak membeli token listrik, sehingga terjadi kegelapan dimana-mana di banyak wilayah atau daerah, temasuk tidak mau menjalankan hak politik mereka untuk ikut pemilu caleg, pilkada dan pemilu pilpres.
Dan biasanya pembangkangan sipil atau civil disobedience, akan ditindak lanjuti oleh aksi massa, sebagai representatif penyampaian aspirasi HAM yang prakteknya melalui mekanisme konstitusi, sesuai koridor kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, berupa kritik dan protes atau penyampaikan mosi tidak percaya atau mengajukan petisi minta pejabat menteri atau kementrian, bahkan melalui berbagai orasi minta presiden turun dari kursi kekuasaannya.
Dan kini muncul kembali pertanyaan publik terhadap keberadaan seorang capres yang saat ini nampak memiliki kans besar untuk memenangkan pemilu pilpres 2024, dialah Prabowo Subianto, pejabat tertinggi di Kemenhan, yang mendapatkan dukungan full cawe-cawe dari Presiden Jokowi yang menitipkan anak kandungnya Gibran Bin Joko Widodo sebagai cawapres dari prabowo.
Pertanyaan publik yang panas dimaksud adalah apa yang akan terjadi, jika Prabowo terpilih menjadi Presiden RI. Karena diketahui secara umum, berdasarkan sumber warta pers dan informasi yang disampaikan langsung oleh eks petinggi TNI (dulu ABRI) Purn. Jendral TNI AD Agum Gumelar dan Jend. Purn. TNI AD Wiranto, bahwa Prabowo Subianto (Capres 02) memiliki latar belakang kasus pelanggaran HAM penghilangan orang dengan kekerasan, atau penculikan para aktivis dan mahasiswa 1997-1998, diantaranya 13 orang WNI yang sampai hari ini, tidak ditemukan jasadnya. Dan hal kejahatan HAM ini yang berlaku retroaktif telah terbukti, Prabowo diberhentikan dari dinas TNI pada tahun 1998 saat pangkatnya LetJen oleh Presiden Alm. Prof. Dr. Ing. Habibie oleh sebab rekomendasi DKP (Dewan Kehormatan Perwir ). Maka apakah kelak dalam rangka melaksanakan agenda kebijakannya, namun ketika Prabowo Sang Pemimpin negara ini merasa 'dihambat' oleh kelompok sipil dengan pola civil disobedience movement disertai berbagai aksi unjuk rasa, akan terjadi model peristiwa Tiannament atau peristiwa protes di Lapangan Tiananmen 1989, sebuah rangkaian demonstrasi yang dipimpin mahasiswa di Lapangan Tiananmen di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok, antara 15 April dan 4 Juni 1989, lalu mahasiswa China pendemo dimaksud digilas oleh tentara penguasa dan sejarah mencatat ribuan nyawa kelompok masyarakat dan mahasiswa tewas.
Ataukah justru, pembangkangan secara diam termasuk berbagai aksi demo masyarakat dan mahasiswa secara terbuka terhadap kebijakan dan regulasi tidak pernah akan terjadi? Dikarenakan penguasa Prabowo (jika menjadi presiden RI) tidak melahirkan regulasi regulasi atau kebijakan politik, ekonomi dan hukum yang tidak pro rakyat, melainkan Prabowo akan menerbitkan berbagai ketentuan serta diskresi yang populer di hati rakyat bangsa ini? Sehingga otomatis tidak akan muncul aksi-aksi unjuk rasa dan tidak ada aksi pembangkangan oleh publik atau civil disobedience? Oleh sebab perubahan pada jati diri Prabowo yang semula garang dan emosi labil telah berubah manjadi karakter jenaka ala gemoy, yang kini serung ditampilkan olehnya ?
Tentu waktu yang akan datang merupakan prediksi, hanya saja pepatah lama medis masih sering digunakan, "lebih baik mencegah daripada mengobati". (*)