Selain Prof Didin, diskusi juga menghadirkan Rektor IPB University Prof Arif Satria, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Irfan Syauqi Beik, Guru Besar FEM IPB University Prof Yusman Syaukat, dan Ketum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Dr Adian Husaini. Prof Didin didaulat membicarakan kondisi ekonomi politik 2023 dan proyeksi 2024.
Prof Didin membuka paparannya lewat perubahan yang terjadi di negara-negara. Kata dia, perubahan di negara bisa berarti positif atau negatif. Perubahan yang buruk di negara yang baik, ia memberi contoh, pada Jerman di era kemunculan Adolf Hitler, yang akhirnya membuat negara itu terpuruk dan menyeret ke Perang Dunia II.
Prof Didin mengingatkan, Indonesia saat ini masih terjebak dalam jebakan kelas menengah atau middle income trap. Maksudnya, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita rakyat Indonesia sejak era reformasi hanya bisa tumbuh tiga kali lipat. Sementara di zaman Orde Baru, variabel yang sama bisa tumbuh sampai 18 kali.
Padahal, kata dia, seharusnya reformasi bisa melejitkan PDB per kapita tersebut. “Tapi kita melihat sekarang mencapai 10 ribu dolar AS per kapita saja amat sukar,” katanya.
Situasi ini, lanjut anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu, bisa mengarah ke negara gagal. Kegagalan, selain dari sisi demokrasi, juga dari sisi ekonomi. Ia memberi contoh industri ekstraktif Indonesia. “Sumber daya alam kita makin terkikis dengan cepat,” katanya. Kebijakan hilirisasi nikel, lanjut dia, diprediksi lebih menguntungkan negara lain ketimbang Indonesia.
Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi pun seolah mentok di angka lima persen. Pemerintah terlihat masih sangat berorientasi pada mengejar angka pertumbuhan yang tinggi, ketimbang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Padahal dalam situasi sekarang ini, Prof Didin menilai Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi yang berkualitas namun juga merata. Persoalan pemerataan ini sudah serius. Karena dari data rasio gini, kata dia, situasi pemerataan ekonomi Indonesia tidak baik baik saja.
Ia lalu merujuk pada debat capres dan cawapres tiga pekan terakhir. Seluruh kandidat, kata dia, menggaungkan pertumbuhan ekonomi lima persen. Ketika diminta tujuh persen, kata dia, tidak ada satu kandidat yang bisa menjelaskan bagaimana Indonesia mampu menembus pertumbuhan berkualitas tujuh persen itu.
“Indonesia butuh pemimpin yang ekstra kreatif untuk membuat APBN aman untuk pembangunan,“ kata Prof Didin.
Prof Didin kemudian memperlihatkan data rasio aset dan finansial. Di mana kelompok minoritas menguasai lebih dari 80 persen ketimbang kelompok mayoritas. Pada 2015, rasio aset kelompok kaya di Indonesia itu 650 ribu kali dari kelompok miskin. “Sekarang sudah sampai 1.056.000 kali,” kata dia.
Data lain yang dipaparkan adalah soal jumlah UMKM Indonesia yang mencapai 65 juta unit tapi dengan omset yang kalau dijumlah total hanya 20 persen dari total unit bisnis lainnya. “Kelompok kaya menguasai 80 persen omsetnya. Ini justru makin parah!” kata Prof Didin, mengkritik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam waktu dekat, kata dia, adalah kestabilan kurs rupiah. Ia mewanti-wanti pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga kurs menjauhi teritori Rp 16 ribu per dolar AS. Ia khawatir, di saat pemilu ini kurs kalau tidak dijaga bisa bergerak ke Rp 16 ribu, justru muncul sentimen krisis finansial lanjutan.
Ditanya soal proyeksi 2024, Prof Didin menekankan pada empat hal. Pertama soal stabilitas harga pangan. Karena ini sangat memengaruhi daya beli rumah tangga. Ia meminta pemerintah menjaga dan memperkuat Bulog perihal harga beras.
Kemudian, Prof Didin merilis kembali isu lawas soal perlunya pajak diurus oleh satu badan tersendiri, lepas dari Kemenkeu dan berada di bawah Presiden. Ia juga meminta pemerintah memperkuat Bappenas, dan mengkritik peran Kemenkeu yang terasa terlalu sentralistis.
Sumber: republika