GELORA.CO - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak Komisi I DPR memanggil Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk bertanggung jawab atas dugaan suplai 400 juta peluru dari Indonesia ke pemerintah junta militer Myanmar.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative sekaligus anggota Koalisi Sipil, Al Araf mengatakan, produksi, transaksi, dan distribusi alutsista berlangsung di bawah Komite Kebijakan Industri Pertahanan atau KKIP. "Dari hulu ke hilir ada Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, dan Presiden," ujar dia, Senin, 9 Oktober 2023.
Industri pertahanan, kata dia, dibangun menggunakan pajak rakyat. Itu sebabnya, dia mengatakan Komisi I DPR pantas memanggil semua pihak yang bertanggung jawab atas dugaan suplai senjata ke Myanmar. "Kalau duit rakyat untuk industri pertahanan lalu dijual ke rezim yang membantai masyarakatnya, pantas enggak kita menggugat?" ujar dia.
Dia mengatakan suplai terakhir diduga terjadi pada 2020. Saat itu, kata dia, Prabowo dan Erick sudah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri BUMN. "Dua menteri pantas diminta tangggung jawab oleh Komisi I," ujar dia.
Presiden, kata dia, harus bertanggung jawab sebagai Ketua KKIP. Bahkan, dia mengatakan Presiden dan para menterinya harus deklarasi agar senjata ditarik atau tidak digunakan untuk represi. "Dalam bisnis senjata, sekali dijual enggak bisa lepas tanggung jawab," ujar dia.
Komisi I, kata dia, juga harus memanggil perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat dalam suplai senjata ke Myanmar. Dia mengatakan mereka adalah Direktur PT Pindad, Direktur PT PAL, dan Direktur PT Dirgantara. "Komisi I harus bergerak panggil mereka," ujar dia.
Selain itu, dia mengatakan Komnas HAM tidak boleh diam atas laporan dugaan suplai senjata itu. Pelapor, kata dia, bukan orang sembarangan karena merupakan Mantan Jaksa Agung, yaitu Marzuki Darusman. "Komnas HAM harus bertindak cepat," ujar dia.
Sebelumnya, Senin, 2 Oktober 2023 lalu, Mantan Jaksa Agung RI Marzuki Darusman bersama Myanmar Accountability Project dan pegiat HAM, Chin Za Uk Ling, melaporkan dugaan penjualan illegal senapan serbu, pistol, amunisi, kendaraan tempur dan peralatan militer lainnya kepada Junta Militer Myanmar di bawah Jendral Min Aung Hlain, pada durasi terjadinya pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Dugaan keterlibatan BUMN sebagai penyuplai senjata berdasarkan penandatanganan nota kesepahaman PT Pindad dengan True North Co. Ltd, perusahaan broker senjata di Myanmar. True North adalah perusahaan milik Htoo Shein Oo, putra kandung Menteri Perencanaan dan Keuangan Junta Militer Myanmar, Win Shein.
Menanggapi itu, holding BUMN Industri Pertahanan, Defend ID menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan ekspor produk industri pertahanan ke Myanmar setelah 1 Februari 2021.
"Sejalan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor 75/287 yang melarang suplai senjata ke Myanmar," kata Defend ID dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Rabu, 4 Oktober 2023.
Defend ID lewat PT Len Industri (Persero) sebagai induk holding serta beranggotakan PT Dahana, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, dan PT PAL Indonesia, mendukung penuh resolusi PBB dalam upaya menghentikan kekerasan di Myanmar.
Selain tu, Defend ID menegaskan bahwa PT Pindad tidak pernah melakukan ekspor ke Myanmar setelah adanya imbauan Dewan Keamanan PBB per 1 Februari 2021. "Kami pastikan bahwa PT Pindad tidak melakukan kegiatan ekspor produk alpalhankam ke Myanmar terutama setelah adanya imbauan DK PBB pada 1 Februari 2021 terkait kekerasan di Myanmar," tulis Defend ID.
Sumber: tempo