Oleh: M. Rizal Fadillah,
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Masyarakat Tionghoa dikenal sebagai pedagang. Atau jago dalam berbisnis sehingga kadang menimbulkan masalah sosial atas kesuksesannya. Bukan karena semata kedigjayaan akan tetapi efek arogansi yang mengikutinya. Sok mampu, sok kaya bahkan sok kuasa. Relasi yang “membekingi” sering menjadi sebab. Tapi masyarakat biasanya sudah mampu menahan diri dan memaklumi akan keadaan itu.
Isu rasialis sangat menolong untuk memproteksi perkembangan bangsa atau ras Tionghoa tanpa gangguan. Untuk menyebut China atau Tionghoa saja warga harus menimbang ini dan itu. Undang-Undang mengancam dengan delik. Akhirnya semua dibingkai dengan bahasa Warga Negara Indonesia. Terma Tionghoa atau China terkesan tabu untuk diucapkan.
Adalah Hary Tanoesoedibjo Pembina Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) sekaligus Ketum Partai Perindo yang membuat kejutan dengan pernyataan politik bahwa masyarakat Tionghoa akan ikut Capres pilihan Jokowi. Pemilik MNC Group ini menyatakan hal tersebut saat ia bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana.
Jusuf Hamka yang sesama keturunan Tionghoa keberatan atas klaim yang dikemukakan Hary Tanoe. Menurutnya tidak semua Tionghoa mengikuti apa yang menjadi pilihan Jokowi untuk Capres. Warga Tionghoa bebas melakukan pilihan politik. Di samping apa yang dinyatakan Hary Tanoe itu tidak benar, Jusuf Hamka juga minta agar Hary tidak melakukan penggiringan politik.
Seberapa besar atau banyak warga keturunan Tionghoa yang menjadi jualan Hary Tanoe? Masih menimbulkan pertanyaan serius. Artinya warga masyarakat menjadi ingin tahu berapa sebenarnya jumlah warga keturunan Tionghoa di Indonesia baik menurut data statistik maupun data lain? Tanpa data yang valid masyarakat dapat berasumsi sendiri bahwa warga keturunan Tionghoa itu sangat besar dan jangan-jangan terbesar di antara suku bangsa Indonesia.
Transparansi peta statistik ini menjadi penting bila dikaitkan dengan banjirnya TKA asal China ke Indonesia akhir-akhir ini. Ada kerawanan rasial yang potensial meledak jika dibangun suasana tertutup dan dibiarkan bersandar pada kecurigaan. Sebaiknya terbuka saja peta suku atau ras yang ada di Indonesia. Prosentase dan sebarannya. Ini untuk mencegah terjadinya konflik ras atau suku.
Ironi ternyata kekuatan Tionghoa sedang ditawarkan oleh Hary Tanoesoedibjo kepada Jokowi. Ia sedang bermain politik melalui “pasukan” Tionghoa yang disebutkan angka tujuh juta. Hary Tanoe memang sedang jualan Tionghoa.
Konon ia mendapat tawaran dari Jokowi untuk menjadi Menkominfo menggantikan Johnny G Plate yang terseret kasus korupsi.
Jika benar hal itu maka Jokowi benar-benar sedang bunuh diri. Hary Tanoe partainya tidak masuk Parliamentary Threshold, ia pengusaha media yang rentan konflik kepentingan dan tentu saja ketika Hary membawa-bawa etnis Tionghoa maka friksi sosial akan menajam baik internal maupun eksternal.
Bagi masyarakat pribumi jualan Tionghoa Hary Tanoe yang jika itu ditoleransi oleh Jokowi bakal membuka sentimen etnik yang potensial untuk konflik ke depan.
Ketika ada yang jualan Tionghoa maka menurut hukum pasar biasanya akan ada yang beli. Dan bahayanya pembeli itu memang sudah lama menunggu.[]
Bandung 19 Mei 2023