Amnesty Internasional Surati Menteri ATR/BPN, Pembebasan Lahan di Wadas Berpotensi Langgar HAM

Amnesty Internasional Surati Menteri ATR/BPN, Pembebasan Lahan di Wadas Berpotensi Langgar HAM

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO -  Amnesty Internasional mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam pembebasan lahan di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.

"Perihal: Proses Pembebasan Lahan di Desa Wadas Berpotensi Melanggar HAM," demikian isi surat terbuka tersebut dikutip Kompas.com, Kamis (25/5/2023).

Ada empat poin desakan yang dikirimkan dalam surat terbuka itu.

Pertama, tidak memberlakukan konsinyasi dalam kasus Wadas yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Kedua, menghentikan segala bentuk tekanan terhadap warga Desa Wadas yang merupakan pelanggaran hak atas rasa aman," ujar Deputi Direktur Amnesty Internasional Wirya Adiwena dalam surat terbuka itu.

Desakan ketiga, meminta agar Menteri ATR/BPN memastikan warga Desa Wadas dilibatkan secara bermakna, aktif, dan transparan dalam proses pengambilan keputusan.

Khususnya keputusan terkait kebijakan pembangunan yang dilakukan di wilayah tempat tinggal mereka.

"Keempat (terakhir) menjamin bahwa kebijakan pembangunan apa pun tidak akan merugikan hak asasi warga, termasuk hak atas perumahan yang layak, hak atas penghidupan yang layak, serta hak atas lingkungan yang bersih dan sehat," kata Wirya.

Desakan itu muncul karena ada informasi dari pendamping warga bahwa pemerintah disebut mengambil jalan pintas menghadapi warga yang tidak setuju terhadap rencana penambangan.

Warga yang menolak diminta menyerahkan berkas lahan untuk keperluan inventarisasi.

Jika tidak diserahkan, pemerintah akan menerapkan mekanisme konsinyasi, penitipan uang ganti rugi melalui pengadilan.

"Amnesty Internasional menilai bahwa ancaman konsinyasi merupakan bentuk tekanan terhadap warga yang berupaya mempertahankan hak untuk tetap hidup di wilayah yang telah mereka tempati secara turun temurun," ucap dia.

Padahal, kata Wirya, konsinyasi tersebut juga tidak sesuai dengan Pasal 89 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, peraturan pelaksana dari UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Karena dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan, konsinyasi bisa dilakukan jika pemilik tahan tidak diketahui keberadaannya atau jika terdapat ketidaksepakatan besaran ganti rugi.

"Dalam kasus di Desa Wadas, penolakan tidak didasarkan pada nominal uang ganti rugi yang ditawarkan, melainkan kepada dampak penambangan terhadap lingkungan tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka," kata Wirya.

Sumber: kompas

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA