Kekerasan Negara

Kekerasan Negara

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



OLEH: HENRYKUS SIHALOHO
PADA 3 Maret 2023, indonews.id memuat artikel, “Rizal Ramli Perkenalkan Istilah KKH, Apa Itu?". Rupanya KKH yang dimaksud Rizal Ramli yang kerap disapa RR itu adalah singkatan dari “Kekerasan, Korupsi, dan Hedonistik.”

Kekerasan yang dimaksud RR tentu bukan kekerasan yang dilakukan anak pegawai Ditjen Pajak.  Negara memang melakukan kekerasan terhadap rakyatnya bila abai pada rakyatnya yang sedang berusaha pulih akibat pandemi Covid-19.



Contoh paling aktual dari kekerasan Negara adalah menaikkan pajak pertambahan nilai dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan 12% paling lambat 1 Januari 2025 (Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Sebaliknya, Negara melemah pada pengusaha batubara dengan membebaskan royalti batu bara 0% untuk kegiatan hilirisasi batu bara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Perppu Cipta Kerja.

Pasal ini mengatur soal perubahan pada UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan menyisipkan satu pasal, yakni Pasal 128 A yang dalam ayat (2) berbunyi, “Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0%.”

Negara melanjutkan, kekerasannya pada rakyat saat gagal mencegah korupsi. Alih-alih mencegah korupsi, Negara membuat kebijakan yang menguntungkan koruptor dalam kasus Paulus Tumewu (PT) dengan memindahkan proses pidana ke administratif saat Menkeu Sri Mulyani mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang mengakibatkan penurunan jumlah kewajiban pajak PT yang terlalu besar dari Rp 399 miliar menjadi 10% (Rp 39,96 miliar).

Melalui perilaku hedonistis aparatnya, Negara juga melakukan kekerasan karena tertawa di atas penderitaan rakyatnya. Institusi Negara juga bisa bersorak di atas penderitaan rakyatnya manakala institusi itu menaikkan kelas semua institusi subordinatnya.

Karena itu, Polri misalnya, perlu mengkaji ulang penyamarataan semua Polda menjadi tipe A dengan menghapus 2 tipe lainnya.

Di masa Orde Baru Negara pernah peduli pada rakyatnya. Teladan untuk ini dilakukan Benny Moerdani (BM) dengan memotong anggaran, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan profesionalisme TNI dan Polri.

Berkaitan dengan struktur komando, BM melakukan pendataran hierarki dengan menghapus Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang ada sejak 1969 dan mengurangi 17 Komando Daerah Militer (Kodam) menjadi 10, Komando Daerah Angkatan Laut dan Komando Daerah Angkatan Udara dari masing-masing 8 menjadi 2 Komando Armada dan 2 Komando Operasi.

Di tubuh militer, BM tidak sendiri sebagai reformis. Agus Wirahadikusumah (AW), seorang loyalis Presiden Gus Dur yang diangkat sebagai Pangkostrad pada 2000, pada 1997 menyerukan agar militer Indonesia menghentikan keterlibatan mereka dalam urusan politik dan semata menjadi kekuatan pertahanan profesional. AW bahkan mengusulkan penghapusan Kodam dan itu menurutnya dimulai dari Jawa.

Arah kebalikannya justru terjadi 21 tahun sesudah Soeharto turun. Pada 25 September 2019 TNI kembali menghidupkan 4 Kowilhan dan mengganti namanya menjadi Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan). Empat Kowilhan sekarang menjadi 3 Kogabwilhan.  Belakangan TNI berencana melahirkan Kodam di setiap provinsi seperti yang dilakukan Polri dengan mendirikan 34 Polda dan nantinya bakal menjadi 38 Polda.

Demi kemaslahatan bangsa dan tokoh pejuang dan pembaru Polri dan TNI yang telah gugur, Polri dan TNI perlu mereorganisasi kembali organisasinya. Pendataran hierarki berbasis manajemen modern yang telah dilakukan Polri dengan menghapus keberadaan kepolisian wilayah patut diteladani.

Meniru Polda Metro Jaya yang wilayah hukumnya berada di 3 provinsi dan sejumlah kepolisian resor yang wilayah hukumnya lintas kabupaten/kota seperti Polrestabes Medan, reorganisasi di tempat lain pun bisa seperti itu.

Intinya, tidak salah Polri mereorganisasi merujuk yang lama sejauh tetap berbasis pelayanan publik yang berangkat dari jumlah orang dan kompleksitas keamanan dan ketertibannya.

Demikian pula TNI. Tentu reorganisasi TNI AD berbeda dengan TNI AL dan TNI AU.  Di masa kini dan mendatang, suka atau tidak suka, reorganisasi TNI harus merujuk pada Konvensi III PBB tentang Hukum Laut (The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. UNCLOS 1982 yang mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan seharusnya mendorong kita memanfaatkan dan mengelola sumber daya laut secara lebih baik.

Tokoh Antikekerasan
 
Dunia mengenal Mahatma Gandhi (MG) sebagai tokoh antikekerasan. Jose Rizal, pahlawan tertinggi Filipina, yang lahir lebih 33 tahun sebelum MG, tentu bisa disebut sebagai tokoh antikekerasan yang lebih awal.

Jose Rizal yang meninggal akhir abad ke-19 mungkin akan menjadi pemenang nobel perdamaian I abad ke-20 (1901) seandainya Tuhan memperpanjang umurnya 5 tahun.

Di Indonesia tokoh antikekerasan bejibun banyaknya. BK misalnya tidak mengerahkan rakyat atas perlakuan biadab Soeharto. Megawati kemudian manakala menjadi Presiden tidak membalasnya.

Seperti ayah biologis dan ideologisnya, Megawati pun tidak mengerahkan massa untuk menolak hasil Pilpres 2004. Bahkan dia tidak memerintahkan institusi Negara melakukan investigasi atas kemungkinan kecurangan Pemilu 2004 itu.

Megawati tidak juga mengingat-ingat sakit hatinya atas kekerasan yang dilakukan Soeharto kepada mendiang suaminya yang memenjarakannya di Sukamiskin. Sebagai sesama “alumni Sukamiskin” dengan Taufiq Kiemas (TK), selain menitipkan putrinya kepada RR, dari TK  RR mungkin tahu “rahasia kesabaran Megawati dan TK.”

TK dan RR pastilah saling belajar. Toh, RR pun saat berjuang diam-diam melengserkan Soeharto melakukannya dengan keberadaban yang “out of the box,” termasuk mendekati Probosutedjo dan safari ke tokoh media utama seperti Jacob Oetama, Goenawan Mohamad, dan Albert Hasibuan.

TK, meski pejuang keras, tetap bersikap lembut kepada Presiden VI SBY dan menjalin silaturahmi yang memuluskan TK menjadi Ketua MPR.

Tokoh antikekerasan yang masih hidup yang namanya disebut dan yang tidak itu sekarang gigih mengingatkan petugas Negara bahwa Negara pun melakukan kekerasan bila Negara membiarkan (apalagi memfasilitasi) pelanggaran konstitusi.

Sambil mengingat darah yang tertumpah dalam peristiwa 27 Juli 1996, 4 mahasiswa korban meninggal 12 Mei 1998, dan perjuangan tokoh-tokoh antikekerasan, Megawati tetap gigih berjuang agar Negara menghentikan kekerasan kepada rakyatnya dalam bentuk apa pun, termasuk berbentuk gagasan penambahan periode dan/atau perpanjangan masa jabatan Presiden yang berpotensi membelah masyarakat yang bisa berujung Indonesia tinggal nama seperti Yugoslavia.

Berbeda dengan Cory Aquino di Filipina yang berjuang menghentikan ambisi Ramos yang tadinya berjuang bersamanya melengserkan Ferdinand Marcos, bila Cory hanya melawan Ramos, Megawati kini berhadapan dengan musuh yang tidak jelas, termasuk para Brutus di dalam partainya yang aktivis dan nonaktivis 1998.

Sebagai rakyat biasa, selain berdoa, Penulis berharap semua yang berkehendak baik tidak diam.  Menulis seperti yang dilakukan Jose Rizal bisa berbuah (Filipina merdeka), meski itu terjadi hampir 50 tahun pascawafatnya. 

(Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA