Denny JA: Mungkinkah Beragama Tanpa Ulama, Pendeta dan Biksu?

Denny JA: Mungkinkah Beragama Tanpa Ulama, Pendeta dan Biksu?

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Mungkinkah beragama tanpa ulama, pendeta dan biksu? Akankah tiba tahap itu ketika era pertumbuhan agama, pencarian spiritual individu yang tak lagi memerlukan peran ulama, pendeta dan biksu?

Pertanyaan itu muncul dalam pemikiran Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA, setelah membaca penggalan tulisan Friederich Affolter (2015), yang menulis soal agama Bahai di Iran, dalam Forum Lintas Agama Esoterika Merayakan Hari Raya Agama Bahai yang digelar di Countrywood, Ciputat, Tangerang Selatan pada Selasa (21/3).

Selain Denny JA, dalam acara Forum Lintas Agama Esoterika tersebut hadir juga Nasrin Astani selaku penganut agama Bahai. Dia menceritakan sejarah agama Bahai yang tidak memiliki ulama, pendeta, atau biksu.
 
Di samping itu, hadir juga tokoh Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil. Ia menceritakan tentang lahirnya agama Bahai yang mirip dengan agama Kristen.

Saat ini, kata Denny JA merujuk pendiri agama Bahai Mirza Ḥusayn-Ali Nuri yang bergelar Bahá'u'lláh, sebagaimana ditulis Affolter, umat manusia tengah memasuki zaman pencerahan yang sudah matang bagi pertumbuhan individu.

Karena itu, kata dia, para individu itu perlu mencari kebenaran, jalan agama, jalan spiritualnya sendiri, secara mandiri, melalui elaborasinya sendiri.

“Peran mediator seperti ulama, pendeta dan biksu tak lagi diperlukan sebagai otoritas spiritual. Semua penganut agama sama posisinya, setara, sama rendah dan sama tinggi,” sambungnya.

Menurut Denny JA, pada tahap ini, ajaran apapun dan dari agama manapun dilihat sebagai konstruksi sosial. Maka, yang menjadi pertanyaan kondisi sosial serta konteks masyarakat bagaimana yang memerlukan peran ulama, pendeta dan biksu?
 
Dia menyebut data terkait persentase buta huruf dalam sejarah dari abad ke abad dan teknologi tinggi untuk menggandakan serta menyebarkan informasi.
 
“Ternyata sampai dengan abad 14, jumlah penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis hanya 10 persen. Sebanyak 90 persen warga dunia kala itu masih buta huruf. Bahkan, di era Kerajaan Roma sebelum kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus), yang bisa membaca dan menulis hanya 3 persen penduduk,” terangnya.
 
Denny JA mengatakan, sebelum ada mesin cetak yang baru ditemukan pada 1450, setiap kitab suci atau buku hanya disalin tangan. Peredaran kitab suci dan buku akibatnya sangat terbatas.
 
Jika itu konteks sosialnya, maka tidak heran hingga abad ke-14, mayoritas warga, tak punya akses kepada kitab suci dan buku penting. Bahkan, kopi kitab suci dan buku pengetahuan pun tidak tersedia luas.
 
Dalam konteks seperti ini, peran ulama, pendeta dan biksu menjadi sentral dan maha penting. Hanya kelas ini yang memperoleh akses dan bisa memahami kitab suci dan buku pengetahuan.
 
“Tanpa peran ulama, pendeta, dan biksu mayoritas publik yang tak bisa membaca tak bisa memperoleh pencerahan dari pesan-pesan agama dan pengetahuan,” ungkap Denny JA.
 
Maka dari itu, kata Denny lagi, umat manusia harus berterima kasih kepada ulama, pendeta, dan biksu sebelum abad ke-14 karena peran besar mereka dalam mengubah kesadaran publik.
 
Ulama, pendeta dan biksu awalnya hanya penyampai pesan agama dan pengetahuan, lalu terjadi pergeseran peran karena publik tak memiliki informasi pembanding, sehingga perantara ini menjelma memiliki otoritas spiritual.

Ulama, pendeta dan biksu kemudian menjadi sebuah kelas sosial tersendiri yang mempunyai surplus kekuasaan. Pun dipersepsikan dan dimitoskan menjadi pengganti Nabi, bahkan seolah paling tahu kehendak Tuhan.

Saat ini, kata Denny JA, zaman sudah berubah di mana kemampuan publik meningkat pesat dan teknologi membawa suasana baru. persentase penduduk yang bisa membaca dan menulis di dunia maju hampir 100 persen. Sementara di dunia berkembang, mayoritas penduduk hingga 87 persen bisa membaca dan menulis.
 
Lalu, mesin cetak bukan hanya bisa menyebarkan jutaan buku, namun sudah ada internet yang menyimpan aneka informasi lebih besar dari perpustakaan manapun dalam sejarah.
 
Sebanyak 65 persen penduduk dunia kini mengakses internet, sehingga mudah sekali membanding-bandingkan aneka informasi, mulai dari tafsir kitab suci hingga penemuan arkeologi yang menafsir ulang kisah sejarah dalam kitab suci.
 
“Mudah sekali bagi siapapun untuk membanding- bandingkan tafsir agama yang beragam dari yang paling kiri hingga paling kanan,” ujarnya.
 
Denny JA mengatakan, di era seperti ini memang sudah cukup matang bagi individu untuk mencari jalan kebenaran secara mandiri. Individu tak lagi memerlukan otoritas spirtual yang seolah menjadi juru bicara Nabi atau Tuhan.
 
Maka, katanya, di titik inilah, peran ulama, pendeta dan biksu memudar. Agama berevolusi ke tahap zaman yang lebih mengagungkan kedaulatan individu untuk urusan spiritual. Namun, yang dibutuhkan setiap individu di era ini hanyalah kawan untuk diskusi, bertukar pengalaman, dan pemahaman.

Apalagi, kata Denny JA, saat ini era di mana setiap individu dilindungi hak asasinya yang bisa memilah sendiri dan memilih dari 4.300 agama yang ada, serta puluhan tafsir yang ada yang sesuai dengan gaya hidup dan selera berpikirnya.

Menurut Denny JA, dua individu dalam agama yang sama juga tak perlu berujung pada pemahaman agama yang sama. Sebab, riwayat hidup dan cetak batin setiap individu juga tak sama. Mereka pun menghadapi kondisi sosial yang tak sama.
 
“Mengapa pula mereka harus memiliki tafsir agama yang sama? Tapi, bukankah setiap komunitas agama memerlukan organisasi? Benar!” pungkasnya. 

Sumber: rmol

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA