GELORA.CO - Penggunaan pasal kealpaan atau kelalaian dianggap belum menunjukkan keseriusan Polri dalam mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan.
Apalagi, belum ada satu pun aparat keamanan di lapangan yang jelas-jelas menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton dan mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa yang menjadi tersangka.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, bangunan konstruksi perkara dengan pasal kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP itu tidak cukup adil untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. Menurut dia, perbuatan aparat menembakkan gas air mata sejatinya bukan hanya suatu tindak pidana kelalaian, melainkan juga kesengajaan.
Karena itu, lanjut Fachrizal, pasal yang mestinya juga digunakan untuk membangun konstruksi penyidikan adalah Pasal 338 dan 354 KUHP. Dengan menerapkan pasal sengaja merampas nyawa orang lain tersebut, konstruksi yang dibangun bisa dipandang berpihak pada korban dan keluarga korban. Sebab, dalam pasal tersebut, ancaman hukumannya lebih berat: lebih dari sepuluh tahun.
Sementara itu, jika menggunakan pasal 359 dan 360, perbuatan menghilangkan nyawa karena kelalaian hanya dihukum maksimal lima tahun. ”Kalau polisi tetap hanya menggunakan pasal kelalaian, ini jelas tidak logis. Lalai itu bisa diterima kalau tembakan gas air mata yang mestinya diarahkan ke tanah kosong tiba-tiba mantul ke tribun,” kata Fachrizal kepada Jawa Pos kemarin (7/10).
Seperti disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada jumpa pers Kamis (6/10) malam, enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, security officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Has Darman, Kabagops Polres Malang Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.
Haris merespons penetapan tersangka itu dengan mengatakan bahwa dirinya sebenarnya bisa menerima. Dia juga meminta maaf atas tragedi yang telah merenggut sedemikian banyak nyawa tersebut.
Namun, Haris juga membela diri. Dia menuturkan, sebelum ada peristiwa gas air mata, pihaknya memberikan peringatan kepada Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat (sekarang telah dicopot). Sebab, penembakan gas air mata pernah terjadi pada 2018 di stadion yang sama dalam pertandingan melawan Persib Bandung.
Saat itu dia melihat banyak korban yang sesak napas dan matanya perih. Plus ada satu korban jiwa juga saat itu. ”Saya minta saat itu tolong jangan diulangi (penembakan gas air mata). Sudah saya ingatkan,” jelasnya.
Pada 1 Oktober, di hari pertandingan, Haris menjelaskan, pertandingan sebenarnya berjalan lancar sejak menit awal. Titik alur keluar masuk juga disiapkan.
Dia juga sudah mempersiapkan empat ambulans. Perinciannya, dua di dalam stadion, sisanya stand by di luar stadion. ”Sepuluh menit sebelum pertandingan selesai, pintu juga sudah dibuka sesuai prosedur,” tambahnya.
Haris menegaskan, hal tersebut sesuai dengan fakta bahwa pintu memang terbuka sepuluh menit sebelum pertandingan selesai. Itu sudah sesuai dengan SOP (standard operating procedure). ”Kalau ada oknum yang menutup, kan itu ada CCTV. Laporan dari Pak Suko sebagai security officer bahwa pintu sudah terbuka,” katanya.
Haris juga meminta ada otopsi kepada 131 korban jiwa dalam tragedi sepak bola terburuk di tanah air tersebut. Taufik Hidayat, kuasa hukum Abdul Haris, menambahkan, penjelasan kliennya sudah diberikan juga kepada pihak kepolisian ketika diperiksa pada Kamis (6/10).
Jika ada perbedaan pendapat soal pintu gerbang, dia meminta polisi membuka rekaman CCTV kepada publik. ”Agar tidak ada perbedaan pendapat. Dibuka saja CCTV-nya,” ujarnya.
Dari pengamatan Jawa Pos di Stadion Kanjuruhan, tiap pintu keluar stadion memang terdapat CCTV. Jika benar pintu dibuka sepuluh menit sebelum pertandingan, seharusnya hal tersebut terekam di CCTV. Letak CCTV pas berada di depan pintu keluar.
Manajer Arema FC Ali Rifki juga menyebut, seorang Aremania yang hadir di Kanjuruhan pada laga melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober lalu itu menceritakan, dia nonton bersama dua adiknya. Yang satu di tribun VIP, satunya lagi di tribun ekonomi. Nah, si kakak sendiri, kata Ali, tak dapat tiket.
Baru pada menit ke-85 dia dapat tiket dan langsung masuk ke stadion lewat pintu 13 yang masih terbuka. “Tapi, pas kejadian (seusai pertandingan) itu pintu tertutup. Jadi, yang saya dapat dari saat saya ke rumah duka, kalau yang disampaikan sebelum menit terakhir, ini (pintu 13) terbuka, tapi ketika selesai pertandingan sudah tertutup,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dispora Kabupaten Malang Nazaruddin Hasan menjamin jika CCTV di Stadion Kanjuruhan berfungsi semua pada 1 Oktober lalu. Hanya, saat ini rekaman CCTV masih jadi barang bukti penyelidikan kepolisian. “Kami punya 32 titik CCTV di Stadion Kanjuruhan,” tuturnya.
Sumber : jawapos