GELORA.CO -Respon tak jauh berbeda kerap ditunjukkan oleh para pejabat saat pecah tragedi yang tewaskan banyak orang tak berdosa. Seperti respon dari pejabat pemerintah Indonesia dan pemerintah Peru di tragedi yang tewaskan ratusan suporter di stadion.
Di tragedi Kanjuruhan, Presiden Jokowi yang datang ke kuburan massal para Aremania menyoroti soal pintu stadion yang tertutup, anak tangga stadion curam namun tidak menyinggung soal tembakan gas air mata ke arah tribun yang membuat panik Aremania.
Pernyataan yang tidak tenangkan hati publik khususnya para Aremania juga disampaikan oleh ketua umum PSSI, Mochamad Iriawan atau Iwan Bule. Didesak mundur sebagai bentuk pertanggung jawaban atas tewasnya 131 suporter, Iwan Bule menolaknya.
Bahkan Iwan Bule dalam pernyataannya seperti dilihat di kanal Youtube Mata Najwa menyebut dirinya tidak bisa dikatikan dengan tragedi Kanjuruhan.
"Bagaimana mau mengaitkan dengan saya, kan setiap pertandingan di suatu tempat panpel yang harus bertanggung jawab," kata Iwan Bule.
Ia juga membela PT LIB yang menurutnya di luar tanggung jawab, padahal kekinian Dirut PT LIB, Akhmad Hadian Lukita resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kapolri.
Ogah mundur juga dinyatakan oleh Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Timur, Ahmad Riyadh saat jadi bintang tamu di Metro TV. Didesak oleh pengamat sepak bola Tommy Welly alias Bung Towel untuk mundur, Riyadh mengatakan, "Enak aja mundur"
Pernyataan pejabat Peru di Tragedi Estadio Nacional
Nah, pernyataan-pernyataan tak jauh berbeda juga diungkap oleh pejabat Peru pada tragedi Estadion Nacional Peru pada 24 Mei 1964.
Ambil contoh pernyataan dari Komandan Jorge de Azambuja, pemberi komando tembakan gas air mata ke tribun penonton. Dalam pernyataan seperti dikutip dari laporan Elcomercio, Azambuja juga menyoroti soal pintu stadion yang tertutup.
"Di tribun selatan, di mana pintu tidak tertutup, tidak ada satu pun suporter yang tewas di sana, meskipun ada gas air mata," kata Azambuja.
Sekedar informasi, Azambuja mengaku bahwa ia yang menginstruksikan anak buah tembakan gas air mata ke arah tribun penonton.
"Saya memerintahkan tabung gas air mata untuk ditembakkan ke tribun. Saya tidak mengatakan berapa banyak. Saya tidak pernah membayangkan konsekuensi yang menghancurkan itu," ucap Komandan Jorge de Azambuja mengutip dari revistalibero.com
Jika di Stadion Kanjuruhan, gate 13 menjadi tempat paling banyak jatuh korban jiwa maka di Estadio Nacional, area keluar tribun utara tepatnya di gate 10, 11 dan 17 menjadi kuburan bagi banyak suporter pada hari itu.
"Banyak wanita dan anak-anak bergelimpangan kehabisan nafas dan terinjak-injak oleh para suporter lain yang panik. Teriakan minta tolong para korban sangat menyayat hati," tulis salah satu media lokal Peru.
Lantas siapa yang bertanggung jawab soal pintu stadion yang ditutup? Di tragedi Kanjuruhan seperti yang disampaikan Kapolri bahwa steward atau penjaga pintu stadion meninggalkan lokasi.
"Steward seharusnya stand by karena (pintu) terbuka masih separuh sehingga membuat orang berdesak-desakan," kata Kapolri mengutip dari Antara.
Di Peru, soal pintu tertutup tidak ada yang mau bertanggung jawab. Otoritas Komite Olahraga Nasional Peru kemudian melaporkan bahwa pintu ditutup untuk mencegah penggemar masuk ke lapangan. Siapa yang menutup, sampai saat ini tidak pernah dijelaskan.
Bahkan soal gas air mata sempat dibantah oleh Menteri dalam Negeri Peru, Juan Languasco. Ia menyebut seperti dikutip dari laporan La Prensa menyangkal ada tembakan gas air mata.
Mirisnya Languasco pada hari kejadian ikut menonton di dalam stadion bersama Kepala Garda Nasional Peru, meski ia sudah keluar stadion sebelum pecahnya tragedi tersebut.
Beberapa hari setelah pemberitaan di media lokal memperlihatkan foto tembakan gas air mata ke tribun penonton, Languasco baru mengakuinya meski kemudian menyebut tindakan polisi bisa benar tapi juga bisa keliru.
Butuh waktu satu tahun untuk publik Peru kemudian mengetahui sejumlah secuil fakta lain di tragedi yang tewaskan 328 suporter. Hakim Castaneda Pilopais yang memimpin investigasi tragedi ini dalam laporannya menyebut ada peran jahat pejabat pemerintah hingga menyebabkan ratusan nyawa melayang di stadion.
"Ada konspirasi jahat untuk menaklukkan rakyat dengan latar belakang berbeda dan itu harus diselidiki sampai tuntas," kata Pilopais.
Sayangnya kemudian laporan itu ditolak dan tidak disetujui oleh pemerintah dan parlemen Peru. Parahnya, si hakim yang beberkan fakta justru dijerat dengan denda dan ancaman hukuman. Pilopais pun memutuskan untuk mundur sebagai seorang hakim.
7 tahun setelah tragedi di Peru, keluarga korban baru sedikit mendapat keadilan. Keluarga korban berhasil mendesak pemimpin Peru Jenderal Juan Velasco untuk membuat dekrit 19030 yang memungkinkan ada sanksi hukum kepada mereka yang dianggap bertanggung jawab.
Dekrit 19030 ini yang kemudian membawa Kolonel Jorge de Azambuja divonis bersalah dan dipenjara selama 30 bulan. Meski begitu banyak fakta-fakta kasus Peru ini yang tetap ditutup rapat oleh pejabat di sana.
Sumber: suara