OLEH: MUKHAMAD MISBAKHUN*
ADA beberapa warga di Dapil saya yang menjadi korban dari kasus Tragedi Stadioan Kanjuruhan Malang. Karena jarak antara Pasuruan-Probolinggo sangat dekat dengan Malang, apalagi setelah adanya jalan tol.
Warga Pasuruan dan Probolinggo kalau tidak menjadi pendukung klub sepak bola kebanggaan kota mereka. Mereka menjadi ultras bagi Aremania atau Bonek Bajul Ijo Persebaya. Bahkan jembatan fly over tidak jauh dari rumah Ibu saya bergambar wajah Bonek Persebaya yang ikonik.
Tragedi paling hitam dalam sejarah sepak bola dunia terjadi di zaman modern dan terjadi di Indonesia. Ada hampir 200 nyawa anak manusia hilang dari usia balita, dewasa, sampai orang tua.
Tragedi ini seperti kutukan Tuhan yang diberikan kepada sepak bola Indonesia akibat dari akumulasi perbuatan dosa yang bertumpuk-tumpuk sejak sangat lama mulai dari mafia bola, mafia wasit, politisasi sepak bola sebagai olah raga untuk kepentinan politik, kasus pencurian umur, kompetisi amatir berbau bayaran, kasus naturalisasi pemain dengan jalan pintas tanpa memperhatikan aspek pembinaan, masuk timnas dengan bayaran, organisasi PSSI yang tidak kredibel, klub sepak bola profesional yang pantas diduga dipakai untuk ’money laundering’, sponsorship dengan sistem setengah ‘injak kaki’, klub sepak bola kebanggaan kota yang dipakai untuk membobol APBD daerah dengan mental korupsi, aparat keamanan yang memanfaatkan pertandingan bola untuk cari ‘persenan’ biaya pengamanan dari penjualan tiket karena pengamanan pertandingan bola tidak ada di APBN atau APBD.
Semua dosa bertumpuk itu, hari itu pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, dalam prasangka saya manusia yang lemah, apakah dijadikan oleh Tuhan sebagai kutukan untuk kita belajar memperbaiki semua kesalahan.
Momentum Bapak Presiden Jokowi untuk memperbaiki bangsa ini dilengkapkan, termasuk urusan sepak bola pada penghujung kekuasaannya.
Maukah bangsa ini mengambil pelajaran dan hikmah? Supaya hampir 200 nyawa yang hilang itu tidak menjadi sia-sia. Tugas kita manusia yang masih hidup ini menjadi berakal atau menjadi makin bodoh itu adalah pilihan.
*(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)