GELORA.CO - Para arsitek mengemukakan pandangan seputar paradigma dan konsep kota masa depan. Pembicaraan itu mencuat dalam konteks bakal dimulainya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang digadang-gadang sebagai wajah dimulainya kota modern di Indonesia.
Pemerintah sudah menyiapkan berbagai rancangan bangunan dan teknologi modern yang akan dihadirkan di ibu kota baru. Namun, berbeda dengan gambaran pemerintah atas kota baru, para arsitek ini justru memandang kota masa depan bukanlah yang identik dengan kemewahan plus kemegahan. Namun kota yang bersahaja, yang sadar lingkungan dan hemat dari sisi energi.
Ketua Umum Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia, Sibarani Sofian, mengatakan bagian terpenting dari kota modern itu adalah kota yang pembangunannya ramah lingkungan. Ditambah dengan tingginya tanggung jawab dan kesadaran masyarakatnya merawat alam.
"Kami menerjemahkan cita-cita yang sifatnya terukur, contohnya net zero 80 sampai 100 persen alternatif energi, renewable. Ten minutes to 15 minutes citys, kota yang dalam 10 sampai 15 menit harus terjangkau," ujar Sibarani dalam diskusi virtual pada Rabu (26/1).
Sederhananya, Sibarani menyebut masyarakat di IKN Nusantara harus siap hidup diet energi hingga tak menghasilkan emisi karbon berlebihan. Ini dengan cara semisal kembali menggunakan sepeda sebagai transportasi dan tidak menggunakan AC alias pendingin ruangan. Sumber energi kelistrikan yang digunakan haruslah berasal dari solar panel atau hydropower.
"Kita kurangi kebutuhan listriknya, ini hal yang buat manusia mudah nih, berani enggak tinggal di ibu kota tapi enggak pake AC? Lampunya semua harus yang LED dan alternatif energi ya. Kasarnya diet, diet resources, diet energi," sambungnya.
Ketua Umum Green Building Council Indonesia, Iwan Prijanto, berpendapat senada. Ia menyebut tren dunia saat ini adalah dimulainya kesadaran merawat lingkungan.
Dengan demikian, bangunan mewah sudah tidak relevan lagi. Iwan menganalogikan dengan mengambil contoh bahwa kemegahan mungkin masih relevan saat era pemerintahan Soekarno.
Kala itu, di tengah kemiskinan yang mendera Indonesia, presiden pertama itu mampu tampil fashionable di tengah negara lain. Soekarno gencar mendirikan bangunan megah seperti Tugu Monas hingga Gelora Bung Karno.
Kini, kata dia, eranya sudah berbeda. Sebagaimana Jokowi terkenal karena tampilan sederhananya. Analogi tersebut, kata Iwan, juga berlaku bagi rancang kota masa depan.
Menurut dia, konsep kota masa depan itu mirip-mirip dengan kehidupan Batavia era 1940, atau Yogyakarta pada tahun 1960-1970-an. Kala itu, kota ukurannya kecil, populasi terjaga, dan dipenuhi sepeda. Sehingga kualitas udara bagus dan seluruh penjuru dapat dijangkau.
"Ukuran kota sustain itu netzero, kalau enggak harus pakai AC kenapa harus pakai? Kalau bisa ke warung pakai sepeda atau jalan kaki, kenapa harus pakai motor?" ujarnya.
"Kalau kita bisa melakukan cara itu, baru bisa bicara teknologi, renewable energi. Hari ini kesadaran terhadap itu masih rendah," sambung Iwan. (kumparan)