Mafia Tanah vs Mbok Miskin

Mafia Tanah vs Mbok Miskin

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: DJONO W OESMAN
Menko Polhukam Mahfud MD mengkritik tajam Polri di seminar virtual, Kamis (7/10). Soal korban mafia tanah. "Dia ngadu ke polisi, diusir karena dia mbok-mbok yang miskin," katanya.

LUGAS. Jelas. Padahal, Polri di bawah koordinasi Menko Polhukam. Dan, Mahfud tak segan mengkritik.


Mbok-mbok (seorang ibu, meski disebut jamak) korban mafia tanah itu, diceritakan Mahfud di seminar nasional 'Peran Komisi Yudisial dalam Sidang Sengkarut Kasus Pertanahan' secara virtual, Kamis (7/10).

Kejadiannya, sebelum Mahfud jadi Menko Polhukam. Si mbok adalah tetangga Mahfud di Yogyakarta. Suatu hari, curhat ke Mahfud, begini: "Tiba-tiba di atas tanah dia sudah terbangun hotel."

Dilanjut, "Dia ngadu ke polisi. Diusir, karena dia seorang mbok-mbok yang miskin. Kata polisi: Pembangunan hotel itu sudah selesai, kamu lapor apa dasarnya?"

Lanjut, "Ngadu ke lurah, diusir juga. Datang ke saya, pada waktu itu saya belum Menko Polhukam. Saya komunikasikan ke pejabat setempat, ini (mbok) kan dulu sudah punya dan dia tidak merasa menjual, kok tiba-tiba sudah dikuasai oleh pemilik hotel."

Barulah polisi mengurusnya. Meski saat itu Mahfud bukan menteri, tapi semua orang tahu, Mahfud mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Juga profesor hukum yang lurus dan galak. Sehingga, berpengaruh terhadap penyidik polisi.

Mahfud mengatakan, mbok itu diusir polisi dan lurah, lantaran dipandang miskin. Datang mengadu dengan berpakaian jelek. Bahkan, "Sudah ada preman yang, sebelumnya membisiki para aparat untuk mengusir orang yang datang mengadu."

Mahfud: "Kita kasihan. Rakyat kecil mau ngadu. Tapi karena dia pakaian jelek, orangnya ndak menjaga (penampilan) gitu. Datang ke kantor polisi ngadu, 'Mau apa kamu', 'Saya mau ngadu tanah', 'Ndak usah ke sini, sudah selesai'."

Cerita mirip seperti ini, mungkin ribuan. Mungkin jutaan. Beredar di masyarakat. Cerita-cerita itu tanpa efek sama sekali. Musnah ditiup angin. Tapi, kalau yang cerita Prof Mahfud, barulah spesial.

Jadi, rakyat kecil dan miskin yang jadi korban pelanggaran hukum, apakah harus mengadu ke rumah Mahfud? Seberapa besar energi Mahfud melayani semuanya?

Atau, apakah orang harus menjelma jadi tokoh se-kaliber Prof Mahfud, agar kalau jadi korban kejahatan, pasti dilayani polisi? Terus, kapan terwujud equality before the law?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut, memunculkan cerita masyarakat sehari-hari, bahwa banyak orang yang melapor ke polisi, menyebutkan, bahwa ia keponakan jenderal polisi A. Atau, ia sebut bahwa saudaranya polisi dinas di Polda.

Sebaliknya, pelanggar hukum yang diperiksa pun, kepada penyidik mengaku sebagai tetangganya jenderal B (biasanya, kalau tetaangga kurang dihiraukan).

Korban dan pelaku kejahatan, sama-sama berusaha mempengaruhi penyidik, dengan menyebut koneksitas, agar mendapat perhatian penegak hukum. Sedangkan, mbok miskin berbusana jelek yang mengadu ke Mahfud, diabaikan penyidik.

Ke mana perginya equality before the law?.

Satu lagi kasus yang diperhatikan penyidik, selain koneksitas: "Kalau kasus sudah jadi perhatian publik."

Itu diketahui semua wartawan. Itu pula sebabnya, wartawan membantu pencari keadilan, dengan cara memberitakan kasus, agar terpenuhi unsur "jadi perhatian publik". Yang, karena kondisi keruh begitu rupa, maka ada wartawan ikut-ikutan jadi pemeras. Karena merasa punya power.

Sejak satu dekade terakhir, bukan hanya wartawan yang punya power "perhatian publik", melainkan juga warganet. Menyebar dan masif. Video Youtube juga siaran live.

Sayangnya, kalau wartawan terdidik dan punya kode etik jurnalistik, warganet bisa siapa saja. Sehingga kemungkinan warganet tergelincir jadi penjahat, lebih tinggi dibanding wartawan.

Mafia tanah dan tindakan penyidik, diungkap blak-blakan oleh Mahfud, karena sikap pemerintah melalui Presiden Jokowi, jelas: "Berantas mafia tanah. Polri harus tegas."

Presiden Jokowi di acara pembagian 124.120 sertifikat tanah hasil redistribusi kepada masyarakat, yang divideokan Istana Kepresidenen, 22 September 2021, mengatakan:

"Ini komitmen pemerintah untuk betul-betul mengurai konflik agraria yang ada. Mewujudkan reformasi agraria bagi masyarakat."

Jokowi: "Kembali saya mengingatkan bahwa pemerintah berkomitmen penuh memberantas mafia tanah. Jajaran Polri saya minta, jangan ragu ragu menindak tegas mafia-mafia tanah."

Dilanjut, "Jangan sampai ada, aparat penegak hukum yang membekingi mafia tanah. Perjuangkan hak masyarakat, dan tegakkan hukum secara tegas."

Dari kalimat Jokowi "Kembali saya mengingatkan...." tampak bahwa, itu bukan peringatan yang pertama. Dan, aparat masih diingatkan lagi.

Karena ketegasan Jokowi mmbela rakyat itulah, Prof Mahfud jadi ujung tombak mengkritik Polri. Di forum seminar. Terbuka.

Bisa saja keterbukaan Mahfud mengkritik itu dikritik, mengapa itu disampaikan di forum terbuka? Mengapa tidak mengingatkan Kapolri secara internal?

Jawabnya, hanya Mahfud yang tahu. Tapi, dari cerita tentang 'mbok miskin', bisa disimpulkan bahwa suatu peringatan menjadi lebih tajam jika disampaikan secara terbuka, ke publik.

Karena hal itu jadi perhatian publik, maka penyidik jadi lebih giat bertugas. Dan, yang diuntungkan adalah rakyat.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita