Formappi: Tak Ada Gerak-Gerik MKD Menindaklanjuti Pelanggaran Etik Azis Syamsuddin

Formappi: Tak Ada Gerak-Gerik MKD Menindaklanjuti Pelanggaran Etik Azis Syamsuddin

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi memantau perkembangan laporan masyarakat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terhadap Azis Syamsuddin yang dinilai hilang begitu saja. Padahal dikatakan Peneliti Formappi Lucius Karus, laporan tersebut sudah masuk di MKD sejak berbulan-bulan lalu. Namun tidak ada kesan bahwa MKD akan menindaklanjuti laporan.

"Sudah hampir enam bulan sejak laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etik Azis Syamsuddin dinyatakan memenuhi syarat, tidak terlihat gerak-gerik MKD menindaklanjuti laporan itu sesuai dengan tata beracara MKD. MKD seolah hilang ditelan bumi, tidak hanya pada kasus Azis, tetapi dalam semua pelaksanaan fungsi mereka sebagai polisi etik DPR," kata Lucius kepada wartawan, Senin (6/9/2021).

Menurut Lucius meski tidak ada pergerakan dari MKD terkait laporan Azis, kekinian publik tetap mendapatkan informasi perkembangan kasus yang ikut menyeret pimpinan DPR itu. Sebagaimana diketahui nama Azis kembali diseret melalui surat dakwaan eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Dalam surat dakwaan itu, Robin disebut menerima uang dari Azis berkisar Rp3 miliar.

"Dengan perkembangan itu kita jadi makin yakin dugaan keterlibatan Azis, juga makin jelas pesan politik MKD yang mendiamkan laporan atas Azis Syamsuddin sebegitu lamanya. Surat dakwaan jelas bukan dokumen fiksi yang hanya menggunakan nama tokoh yang kebetulan bernama Azis. Itu pasti keterangan resmi dengan bukti yang bisa disodorkan kejaksaan," ujar Lucius.

Karena itu Lucius menilai bahwa MKD bukan tanpa alasan memperlambat gerakan memproses laporan Azis. MKD dianggap jelas tahu benar bahwa apa yang dilaporkan masyarakat terkait perbuatan Azis merupakan sesuatu yang bisa mencoreng kehormatan Dewan.

"Kelambanan MKD jelas tak membantu dugaan pelanggaran etik Azis yang kian benderang lebih cepat terungkap. Kelambanan MKD pasti tak membantu DPR untuk memastikan kehormatan dan kewibawaan parlemen tetap tegak," ujar Lucius

Lucius mengatakan MKD seharusnya membuat langkah nyata untuk memeriksa Azis. Hal itu perlu dilakukan untuk mendorong kehormatan Parlemen agar tidak dirusak oleh perilaku anggota.

"Semakin lama MKD bergerak, maka pertaruhan kehormatan lembaga menjadi tanggung jawab MKD. Semakin lama MKD bekerja, kehormatan DPR sedang diujung tanduk. Jadi kerja MKD bukan sekedar mau mengadili sesama rekan anggota saja. Lebih dari itu kerka-kerja MKD sesungguhnya menjadi jantung kehormatan lembaga Parlemen," ujar Lucius.

Sebelumnya pada pertengahan Agustus lalu, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi memandang perlu peninjauan kembali atas keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Apakah memang diperlukan dan berdampak atau tidak.

Pandangan yang disampaikan Peneliti Formappi Albert Purwa saat membacakan hasil evaluasi kinerja DPR Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021, bertajuk "DPR ke Mana?", tidak terlepas dari sikap MKD yang jauh dari kesan berani untuk memproses Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

Formappi menilai tidak ada keberanian dari MKD untuk memproses lebih lanjut politikus asal Golkar tersebut, seiring nama Azis yang terseret dalam kasus suap dugaan keterlibatan dalam perkara suap antara mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dengan wali kota Tanjungbalai M Syahrial.

Padahal sejak nama pimpinan DPR itu terseret, sejumlah aduan telah dilaporkan ke MKD menyoal Azis.

"MKD sampai akhir masa sidang V ini belum juga berani memproses Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang ditengarai melakukan pelanggaran kode etik terkait dengan kasus suap wali kota Tanjungbalai kepada penyidik KPK," kata Albert secara daring, Kamis (12/8/2021).

Karena hal itu kemudian Formappi menganggap bahwa keberadaan MKD perlu ditinjau. Peninjauan itu lantaran MKD dinilai tidak berguna dalam melakukan penanganan terhadap Dewan yang ditengarai melakukan pelanggaran.

"Dengan demikian, sekali lagi MKD ini tampak semakin tidak berguna dan keberadaannya mesti ditinjau kembali," ujar Albert.

Lalu bagaimana respons MKD, setelah kekinian nama Azis kembali santer disebut-sebut memberikan sejumlah uang kepada Robin senilal sekitar Rp 3 miliar sebagaimana isi surat dakwaan Robin dalam laman http://sipp.pn-jakartapusat.go.id yang dilihat pada Jumat (3/9).

Menjawab nama Azis yang disebut meberikan sejumlah uang ke Robin, MKD DPR akhirnya angkat bicara.

Wakil Ketua MKD DPR Habiburokhman dalam keterangannya kepada wartawan menyatakan bahwa MKD sampai saat ini masih menghormati semua proses hukum terkait pimpinan DPR Azis Syamsuddin yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.

Habiburokhman mengatakan MKD tidak bisa gegabah dalam mengambil keputusan. Apalagi sampai membuat keputusan secara prematur. Ia memandang nahwa kasus yang menyeret nama Azis masih bersifat dugaan pelanggaran hukum sekaligus etik.

"Intinya MKD benar-benar menempatkan hukum sebagai panglima, jadi kami nggak mau offside mendahului proses hukum yang sedang berjalan," kata Habiburokhman, Sabtu (4/9/2021).

Lebih lanjut, Habiburokhman mengatakan MKD akan bersikap melakukan langkah-langkah usai persidangan selesai dan sudah ada keputusan pengadilan.

"Seperti kita ketahui bahwa surat dakwaan adalah awal dari rangkaian proses persidangan, jika kelak sudah ada putusan pengadilan ya kami akan menyesuaikan," ujar Habiburokhman.

Nama Azis Diseret

Sebelumnya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin disebut memberikan sejumlah uang kepada mantan penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju.

Eks penyidik Stepanus menerima Rp 3,099 miliar dan 36.000 dolar AS dari Azis Syamsuddin.

Informasi tersebut diketahui dalam surat dakwaan Stepanus dilihat dari laman http://sipp.pn-jakartapusat.go.id pada Jumat.
Ia adalah terdakwa perkara suap terkait penanganan perkara wali kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, Tahun 2020-2021.
Mengutip Antara, dalam surat dakwan, dia total menerima suap dengan jumlah keseluruhan Rp 11.025.077.000 dan 36.000 dolar AS.

"Bahwa terdakwa Stepanus Robin Pattuju selaku penyelenggara negara, yakni Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, menerima hadiah atau janji berupa uang dengan jumlah keseluruhan Rp 11.025.077.000 dan 36.000 dolar AS atau setidak-tidaknya sejumlah itu," demikian bunyi dakwaan kepada dia, dikutip dari laman http://sipp.pn-jakartapusat.go.id.

Penerimaan tersebut berasal dari Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial, sejumlah Rp 1.695.000.000, Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado sejumlah Rp 3.099.887.000 dan 36.000 dolar Amerika Serikat.

Selanjutnya menerima dari Wali Kota Cimahi di Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna, sejumlah Rp 507.390.000, Usman Effendi sejumlah Rp 525.000.000, dan mantan Bupati Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, Rita Widyasari, sejumlah Rp 5.197.800.000.

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu agar terdakwa dan Maskur Husain membantu mereka terkait kasus/perkara di KPK, yang bertentangan dengan kewajibannya yaitu bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku penyelenggara negara untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme," bunyi dakwaan kepada Pattuju.

Sebelumnya, KPK telah melimpahkan berkas perkara Robin dan terdakwa advokat, Maskur Husain, ke Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (2/8).

"Jaksa KPK Heradian Salipi, Kamis (2/9) telah selesai melimpahkan berkas perkara terdakwa Stephanus Robin Pattuju dan terdakwa Maskur Husain ke Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan penahanan dua terdakwa tersebut telah sepenuhnya menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Untuk selanjutnya menunggu penetapan penunjukkan Majelis Hakim yang akan memimpin proses persidangan dan penetapan hari sidang pertama dengan agenda pembacaan surat dakwaan," ucap dia.

Mereka masing-masing didakwa dengan dakwaan pertama pasal 12 huruf (a) Juncto pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Atau kedua Pasal 11 Juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi Juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.[suara]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA