Masjid-Bangunan Muncul ke Permukaan di Tengah Surutnya Waduk Jatigede

Masjid-Bangunan Muncul ke Permukaan di Tengah Surutnya Waduk Jatigede

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Puing bangunan masjid kurang lebih setinggi 3 meter mulai kembali mengemuka setelah terendam sekian lama. 

Tulisan Arab yang menonjol di dindingnya masih terbaca dengan jelas, berlafadzkan Allah dan Masjid Al Hidayah.

Puing bangunan masjid tersebut adalah satu dari ratusan puing bangunan milik warga yang terpaksa ditinggalkan imbas dari adanya pembangunan Waduk Jatigede. Bangunan-bangunan tersebut akan kembali menampakkan wujudnya jika permukaan air menyusut atau saat musim kemarau tiba.

Seperti sekarang ini, permukaan waduk Jatigede sudah mulai menyusut dalam tiga bulan terakhir. Puing-puing bangunan, jalan-jalan desa yang dulunya teredam, kini tampak terlihat lagi. Lalu lalang sepeda motor dan mobil pun bisa kembali melintas di bekas jalan desa yang sebetulnya berada di tengah waduk.


Kondisi ini dimanfaatkan warga dengan beragam cara. Seperti yang dilakukan oleh Ade Wahya Hidayat (52) warga Kampung Sukamenak, Desa Darmaraja, Kecamatan Darmaraja. Surutnya permukaan air waduk dimanfaatkannya untuk mencari barang-barang bekas dan kayu bakar.

"Saya kalau lagi surut begini, biasanya cari botol-botol plastik, besi-besi pokoknya barang bekas apa saja yang bisa dijual," katanya kepada detikcom, Minggu (29/8/2021).

Ade juga merupakan salah satu warga terdampak dari pembangunan waduk Jatigede. Kampungnya dulu adalah kampung Munjul, Desa Darmaraja, namun setelah direlokasi ia pun pindah ke Kampung Sukamenak di Desa yang sama.

Waduk Jatigede baginya adalah tempat kelahiran sekaligus sumber mata pencahariannya. Sebab, ia tidak memiliki pekerjaan tetap alias serabutan.

"Di sini tempat kelahiran saya, di sini pula saya mengais rejeki," ujarnya sambil menunjuk ke tempat dimana rumahnya dulu berdiri.

Warga lainnya, Ayi (57) menuturkan permukaan air waduk yang menyusut dimanfaatkan untuk mencari tutut di pinggiran waduk yang mengering. Dalam sehari ia mampu mengumpulkan tutut sebanyak 20 kilogram.

"Tadi pagi-pagi berangkat, sudah dapat tutut balik dulu ke rumah, siang balik lagi ke sini, dapatlah 20 kiloan," kata warga Cipicung, Desa Darmajaya ini.

Tutut yang didapat ia budidayakan di rumahnya. Sebab, kata dia, jika permukaan air waduk kembali meluap tidak bisa lagi mencari tutut di lokasi tersebut.

"Sudah terkumpul saya jual ke warga, ada yang beli Rp 10 ribu, Rp 20 ribu lumayan bisa untuk menyambung hidup," ucapnya.

Menyusutnya permukaan air waduk Jatigede menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya bagi warga setempat tapi juga warga luar daerah yang kebetulan melintas ke kawasan tersebut.

Banyak dari mereka memanfaatkan momen tersebut hanya sekedar untuk berswafoto atau beristirahat di warung-warung dadakan yang tersedia di pinggiran waduk.

Dari informasi yang detikcom himpun, waduk Jatigede yang pembangunannya telah direncanakan sejak masa Hinda Belanda ini, pembangunan konstruksinya dimulai pada 2007 - 2015 atau tepat pada 31 Agustus 2015 mulai dilakukan penggenangan. Sedikitnya ada 28 desa yang terpaksa direlokasi.

Waduk Jatigede sendiri memiliki fungsi utama yakni sebagai irigasi dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Irigasinya untuk mengairi 90 hektar lahan persawahan di sekitaran pantura Jawa Barat, seperti Majalengka, Indramayu dan Cirebon. Sementara PLTA-nya sendiri konon bakal menghasilkan daya sebesar 110 Megawatt (MW).(detik)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA