Drakor Komnas HAM dan Novel Baswedan Cs

Drakor Komnas HAM dan Novel Baswedan Cs

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh:Hari Purwanto
 Publik saat ini disajikan totonan Drakor (Drama Korea) Komnas HAM dan Novel Cs terkait 11 temuan pelanggaran HAM dalam proses TWK KPK, kalau dilihat pengaduan Novel Baswedan dan 75 eks pegawai KPK mirip Drakor "Fight For My Way" yang mengisahkan sepasang sahabat karib dengan impian masing-masing yang tampaknya sungguh mustahil.

Namun seiring berjalannya waktu, mereka berjuang meraih hal mustahil tersebut dan perasaan istimewa pun hadir di antara keduanya.


Itulah kisah Novel Cs yang digaji oleh negara karena gagal TWK mengadu ke Komnas HAM, padahal penyelenggaraan proses TWK untuk alih status menjadi ASN tertuang dalam UU 19/2019 tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK dan PP 41/2020. Karena urusan pegawai KPK bukan kategori pelanggaran HAM melainkan urusan administrasi yang bisa diuji di PTUN.

Padahal Komisioner Komnas HAM melanggar kode etik karena membela pegawai negara, tidak sesuai amanat point (3) huruf b pasal 89 UU 39 tahun 1999 yang bunyinya "Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia".

Artinya Komnas HAM hanya diberi kewenangan untuk menangani "Masyarakat" bukan Aktor Negara (State Actor) seperti Novel Baswedan dan 75 eks pegawai KPK.

Disinilah Drakor "Fight My Way" dimulai antara Komnas HAM dan Novel Baswedan Cs sehingga mengakibatkan Sakit Pikiran (SAPI) dalam melihat ketatanegaraan Republik Indonesia. Padahal dasar kewenangan yang dimiliki Komnas HAM, Pasal 79 dan Pasal 89 UU 39/1999 tentang HAM  menyebutkan Komnas HAM berwenang melakukan kerja pemantauan dan pengkajian.

Karena ada cinta antara Komnas HAM dan Novel Baswedan Cs mengakibatkan membuat buta para komisioner Komnas HAM, cinta boleh buta tapi jangan mau dibutakan. Komnas HAM semestinya segera menyelesaikan kasus-kasus HAM berat (Talang Sari, Priuk, Kerusuhan Mei '98, Kasus Trisakti, Semanggi I & II).

(Penulis adalah Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita