Vaksin Sinopharm Dijual Kimia Farma Rp 879.140, Pakar: Komersialisasi!

Vaksin Sinopharm Dijual Kimia Farma Rp 879.140, Pakar: Komersialisasi!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Kimia Farma mulai melayani penjualan vaksin Sinopharm dalam program vaksinasi gotong royong individu pada Senin (12/7). Sejumlah ahli kesehatan menyesalkan vaksin bisa dijual orang per orang. Apalagi mematok harga sampai Rp 879.140.

Harga pembelian vaksin produksi Sinopharm adalah sebesar Rp 321.660 per dosis. Sedangkan tarif layanannya maksimal sebesar Rp 117.910 per dosis. Setiap penerima bakal mendapatkan dua kali dosis vaksin. Artinya, harga vaksin gotong royong yang harus dibayarkan per individu adalah sebesar Rp 879.140 untuk dua kali dosis vaksin.

Pakar Kesehatan dari IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) dr. Hermawan Saputra menjelaskan, dalam Permenkes Nomor 10 tahun 2021, dikatakan mekanisme vaksin mandiri atau vaksin gotong royong ini menjadi kepentingan dari korporasi, untuk turut berkontribusi terhadap cakupan vaksinasi. Tujuannya, kata dia, agar ada percepatan dan agar ada faktor keadilan juga dikaitkan dengan sektor ekonomi terutama di korporasi.

“Yang repot jika vaksin dijual orang per orang dengan harga yang dipatok. Maka kami pun sama sekali tak bersepakat dengan hal itu. Akan ada komersialisasi,” tegasnya kepada JawaPos.com, Minggu (11/7).

Menurutnya komersialisasi akan tercipta jika vaksinasi dijual lewat orang per orang dan dijual terbuka secara publik. Apalagi jika mematok harga.

“Kami tak setuju. Itu tak memenuhi health system framework oleh WHO. Apalagi menetapkan harga. Ini menyentil hak hidup masyarakat dalam kehidupan bernegara di lingkungan baik dan sehat,” katanya.

Lalu bagaimana jika akhirnya tetap digulirkan? Menurut dr. Hermawan, kebijakan itu harus direvisi.

“Harus direvisi. Bila itu menjual terbuka orang per orang, secara terbuka, wajib dikoreksi, harus disuarakan agar tak dijual orang per orang. Kan tujuan awal kan segmen korporasi. Kalau dijual bebas rasanya betul negara ini sudah kehilangan rel untuk program ini,” tegasnya.

Sementara Kimia Farma merupakan salah satu distributor di bawah BUMN. Sehingga menurutnya, selama ini pengadaan vaksin dilakukan antara dua yakni bussiness to bussiness atau bussiness to government.

“Pemerintah mencoba mempercayakan Kimia Farma agar tak tumpang tindih dengan pengadaan vaksin program pemerintah yang diberi ruang pada Biofarma,” jelasnya.

Namun, lanjutnya, yang paling dikhawatirkan ketika ada program vaksinasi gotong royong, adalah ketika dijual pada kepentingan perorangan, di luar kepentingan korporasi. Ia menolak istilah VGR atau vaksinasi mandiri, sebab vaksinasi adalah bagian dari upaya kesehatan masyarakat yang wajib memenuhi indikator ketersediaan akses dan keterjangkauan secara layanan dan terjangkau secara biaya.

“Kami rekomendasikan diambil tanggung jawab pemerintah sehingga digratiskan. Tapi ketika pemerintah ambil sikap adanya vaksin mandiri, ini tak jadi bancakan industri yang menjual kepada rakyat secara individu, kami coba pahami dari sisi koorporasi,” jelasnya.

“Tapi pemerintah berikan opsi kalau mau perusahaan cepat bisa tapi bayar. Tapi kalau tidak seluruh Indonesia bisa tercover vaksin tapi sabar. Nah semua akan diupayakan, bertahap tapi sabar. Tapi kalau mau percepat, perusahaan bisa bayar. Tapi enggak bisa dijual bebas lho ya, tapi atas nama korporasi. Itu bisa ditolerir,” tegasnya.[jawapos]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita