Soal Aqidah pada ‘Corona’

Soal Aqidah pada ‘Corona’

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Virus Corona mendadak mendunia. Seantero jagat terkena dampaknya. Bak ‘yajjuj dan makjuj’ yang dilepaskan dari negeri China. Merangsek seluruh jagat. Membuat kerusakan dan kepanikan. Terutama dampak ‘kepanikan’ yang terasa. Dari China, Amerika, Eropa hingga pelosok kampung di negeri Melayu.

Media –baik konvensional maupun media sosial—berhasil membuat ‘ketakutan’ orang-orang. Negara modern (modern state), menjadi mesin yang beroperasi melancarkan ‘ketakutan’ itu. Dunia dilanda hororisme. Seolah ‘Tuhan’ tak lagi hadir dalam kehidupan dunia. Hanya urusan medis dan rasional semata.

Disini ada beberapa cara pandang melihat wabah ‘corona’. Ada yang melihatnya dari sisi filsafat murni. Rasionalitas belaka. Bahwa ini urusan medis. Urusan penyakit, bersumber dari ‘virus cofid-19’. Sumbernya berasal dari sebuah virus. Asal virus, berasal dari sebuah hasil laboratorium medical. Yang kemudian memancar menjalar. Donald Trump menyebutnya “virus China”. Karena memang muasalnya dari negeri China. Lalu mewabah, membuat berita-berita menggemparkan dunia. Ini cara pandang rasionalitas belaka. Maka, obatnya hanya dengan anti virus. Ada virus, tentu ada anti virus. Penglihatan nalar seperti ini, menampikkan unsur keterlibatan ‘Tuhan’ sama sekali. Dan kaum ini yang jamak memberikan informasi. Bahwa virus ini seolah bukan dari ‘Tuhan’. Melainkan dari sebuah laboratorium manusia. Dan ini dianggap ‘perbuatan manusia.’ Ini cara pandang nalar, logika. Filsafat, tapi yang sudah post modernisme. Bukan lagi dari kaum filosof illahiyyun (ketuhanan). Melainkan dari filosof dahriyyun (ateisme). Ini yang mayoritas mendunia kini. Imam Ghazali membagi tiga jenis filosof: ilahiyyun (ketuhanan), tabiiyyun (naturalisme) dan dahriyyun (ateisme). Filsafat abad 21 ini, tentu bukan lagi seperti filsafatnya Ibnu Sina. Apalagi yang disampaikan Socrates, Plato, Aristoteles. Mereka, kata Imam Ghazali, dikategorikan filosof ilahiyyun. Masih berpikir tentang Ketuhanan. Cara berpikir Cartesius dan Kantian, yang kini jamak mendominasi. Memenuhi ruang-ruang istana kepresidenan, kurikulum hingga laboratorium. Bahkan beberapa masuk ke ruang-ruang masjid dan peribadatan.

Karena kedokteran, ini hanya buah dari filsafat tentang biologi (logika tentang tubuh). Dari sana anatomi tubuh dipelajari. Dan tentang ‘corona’, tentu kaum manusia modern kini jamak disuguhi perihal anatomi virusnya, cara kerjanya, sampai urusan metode penyembuhannya. Sekali lagi, seolah peranan ‘Tuhan’ tak dilibatkan. Dan inilah cara pandang neo mu’tazilah. Lebih ekstrim dibanding masa mu’tazilah. Fase mu’tazilah, merupakan dominasi filosof ilahiyyun. Sementara filsafat materialisme kini, berawal dari rennaisance yang memunculkan modernitas. Inilah cara berpikir yang mendominasi dunia kini.

Islam dulu pernah merebak mu’tazilah. Ketika cara berpikir merujuk nalar semata. Ini dimulai tentang debat “Qada dan Qadar”. Selepas merebaknya paham ‘jabarriyya’. Segala sesuatu ketentuan wajib diterima. Tanpa manusia boleh menentangnya. Fase beberapa kekhilafahan, ‘aqidah’ ini sempat menjadi senjata. Untuk menghukum musuh-musuh yang tak disenanginya. Dari sana kemudian masuk paham filsafat. Bermula menjadi ‘qadariyya’ (bukan Qadiriyya –tariqah Shaykh Abdalqadir al Jilani, tapi ‘qadariyya’!), yang berujung pada mu’tazilah. Dari sinilah cara pandang melihat Dinul Islam, seluruhnya dengan akal semata. Rasio menjadi pijakan utama. Ibnu Khaldun menggambarkan, hanya berlandas dalil ‘aqli’ semata. Dalil naqli pun, di-aqli-kan. Beginilah mu’tazilah. Yang merujuk pada filsafatnya kaum Yunani kuno. Masa itu, Socrates, Plato, Aristoteles di-Islam-kan. Memang sains Islam membahana. Tapi satu sisi, muslimin kehilangan Al Quds, untuk fase pertama. Sebelum kemudian dibebaskan oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi, yang bukan produk mu’tazilah. Dan kemudian Hulagu Khan dan kaum mongol, memporak-porandakan Baghdad, ibukota kekhilafahan. Perpustakaan besar di Baghdad, ‘Bait al Hikmah’, berisi ribuan buku-buku filsafat, dibakar dan dibumihanguskan oleh Mongol. Bagi pecinta filsafat, itu adalah bencana. Bak wabah corona kini. Tapi itu rahasia Allah Subhanahuwataala. Karena dua generasi kemudian, kaum Mongol dan keturunannya yang masuk Islam dan memuliakannya seantero dunia. Muncul-lah Daulah Utsmaniyya dan Moghul.

Mu’tazilah merasionalisasi dalam melihat Islam. Hingga dulu banyak berbangga, menyematkan nama belakangnya dengan “al mu’tazili”. Bahwa dia seorang mu’tazilah. Ini sedikit dekat dengan ‘mujasima’. Kaum yang menjisim-kan Allah. Tapi dulu jumlahnya tak banyak. Bukan mayoritas. Tapi kini paham mujasimah yang jamak mayoritas. Menguasai aqidah kaum muslimin. Mereka bisa berjalan beriring dengan mu’tazilah. Al Mas’udi, tokoh mu’tazilah, dalam kitabnya ‘Muruj al Dzahab’, menerangkan tentang dualisme perbuatan. Sepenuhnya segala sesuatu adalah ‘perbuatan manusia’. Qudrah dan iradah berada di tangan manusia. Ini kontradiksi dengan paham ‘jabariyya’. Bahwa manusia tak bebas dalam melaksanakan ‘perbuatannya.’ Mu’tazilah memandang, manusia mempunyai qudrah yang besar dan bebas. Manusia yang menciptakan perbuatan, dan Allah mustahil bersifat lemah. Qudrah, dianggap dikuasakan oleh Allah kepada manusia. Al Quran Surat Sajdah ayat 7, menjadi salah satu dalil. Dan pandangan dualisme tentang pencipta ‘perbuatan baik dan perbuatan buruk’. Tuhan, dianggap hanya mencipta perbuatan baik. Sementara perbuatan buruk, datang dari manusia. Karena Tuhan, dianggap tak mencipta ‘perbuatan buruk,’ disitulah pertemanan dengan paham filsafat Yunani menjadi kentara. Rasionalitas, logika, menjadi titik pertemuan dalam menentukan kehidupan dunia. Sains pun menjadi salah satu bentuk hasil kreasi filsafat Islam dahulu. Hambalah, yang menurut mu’tazilah, menentukan perbuatannya sendiri. Manusia berkuasa atas perbuatan, tanpa intervensi Tuhan.

Sementara jabbariyya, kebalikannya. Paham ini percaya, “manusia tak sanggup menciptakan atau memperoleh sesuatu. Manusia hanya ‘bagaikan bulu dalam tiupan angin.’ Hanya pasrah semata. Dari sinilah muncul Imam Asy’ari, Imam Mathuridi yang mencegat kedua paham itu mewabah. Maka dikenal aqidah Asy’ariyya dan Mathuridiyya. Ini yang disebut aqidah ‘ahlul Sunnah Wal Jamaah.” Selepas merebaknya mu’tazilah.

Kitab Imam Asy’ari, Al Ibanah, tapi bukan yang versi revisi oleh kaum ‘mujasimmah’, menegaskan tentang aqidah ahlul Sunnah. Imam Asy’ari berkata, pendapat mu’tazilah tentang hamba yang menciptakan ‘perbuatan buruk’, itu sama dengan pendapat kaum Majusi. Mereka percaya adanya dua pencipta: pencipta kejahatan dan pencipta kebaikan. Memang, pemisahan dua hal ini merusak aqidah.

Dalam kaum awam, inilah mengapa orang menyembah lautan, menyembah pohon kayu, karena seolah bala atau perbuatan buruk datang dari setan atau iblis yang berada di lautan atau pohon kayu. Ini karena pemahaman dualisme pencipta perbuatan baik dan perbuatan buruk.

Selepas mu’tazilah, Imam Ghazali membantah habis tentang aqidah itu. Kesesatan filosof, dituangkan tuntas. Shaykh Abdalqadir al Jilani, kemudian menggaungkan tassawuf, dan membawa banyak muslimin kembali pada tassawuf. Dan Imam Ghazali pun merekomendasikan jalur tassawuf sebagai jalur paling aman dalam memahami Dinul Islam. Bukan dengan akal atau rasionalitas semata. “Sesungguhnya akal tidak bisa dijamin aman dari kesalahan. Maka tak bisa dibenarkan mengambil hakekat ajaran agama darinya,” kata Imam Ghazali.

Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Thomas Aquinas memungutnya dari Cordoba. Grotius memulai melawan dogma Gereja Roma. Mereka gunakan filsafat seolah melawan paham ‘jabbariyya’ yang digelontorkan Gereja Roma. Disitu memang masih berguna. Tapi kemudian filsafat kelewat batas. Seperti kekhawatiran Imam Ghazali. Filsafat melahirkan modernitas. Rasionalitas menampakkan wajah aslinya di Eropa. Bukan lagi berwujud mu’tazilah. Tapi kemudian melahirkan paham ateisme, atau materialisme. Paham berlandas lahiriah semata. Cogito ergo sum-nya Descartes mulai mewabah. Sebelum Francis Bacon pun telah mengutak-atiknya, dengan aqidah ‘Aku ada maka aku berpikir.” Manusia bukan lagi objek yang diamati. Melainkan subjek yang mengamati.

Rennaisance, yang masih berfilsafat illahiyyun, berubah menjadi filsafat dahriyyun. Masa itulah filsafat rennaisance meng-kristen-kan Socrates, Plato, Aristoteles dan filosof lainnya. Dari belantara itu, ‘Tuhan’ kemudian mulai ‘disingkirkan.’ Hingga Voltaire berkata, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, dan segala kediktatoran haruslah ditolak.” Dari sini, perbuatan segalanya merupakan kehendak manusia. Tak ada lagi defenisi kehendak Tuhan. Makanya dalam perihal kekuasaan, dominasi kehendak manusia menentukan. Yang cocok untuk ini, maka disebut ‘demokrasi’. Dalam urusan hukum, kehendak manusia wajib dipatuhi sepenuhnya. Filsafat ini melahirkan filsafat hukum. Lahirlah yang disebut ‘konstitusi’, merujuk pada filsafatnya Rosseou. Kemudian urusan keuangan, alat tukar, berawal dari filsafat yang melahirkan filsafat ekonomi. Muncullah banking system. Dan bank, seolah mendapat kuasa dari seluruh manusia, yang dikuasakan oleh Raja. Lihat revolusi Inggris, 1668 dan revlolusi Perancis, 1789, sebagai titik awal mulainya. Disitu bankir mendapat kuasa dari ‘Raja’ untuk mengelola keuangan. Revolusi Perancis, bankir mendapat kuasa dari Presiden, untuk menerbitkan mandiri uang. Lahirlah uang kertas, menggantikan emas dan perak. Ini buah dari cara berpikir filsafat dahriyyun. Ateisme. Tentu, ‘Tuhan telah mati,” kata Nietszche.

Sejak itulah virus mewabah seantero manusia. Karena manusia berpaham ‘ration scripta’, seperti kata Kant, yang mendominasi dimana-mana. Mereka memimpin, mengendalikan orang-orang. Mereka tak lagi berpaham pada Tuhan, sebagai pencipta segala perbuatan. Melainkan percaya segala perbuatan, adalah kehendak manusia. Bukan Tuhan. Virus ini yang lebih dulu menjalar seantero dunia. Termasuk negeri-negeri muslim. Daulah Utsmani, pun runtuh, digerogoti paham ‘neo mu’tazilah’ yang lebih ekstrim dari mu’tazilah. Dditambah kebangkitan paham ‘mujasimmah’ yang datang dari negeri Arab. Mereka yang kini mendominasi, hingga menguasai haramayn. Karena ‘mujasima’ memang sejak dulu bisa berjalan beriringan dengan mu’tazilah.

Tapi kini kendali dunia bukan berada ditangan ‘neo mu’tazilah’. Bukan pula ditangan penganut ‘mujasimmah’, yang masih yakin akan adanya Allah. Melainkan dibahwa kontrol kaum ‘ration scripta’, yang meyakini rasionalitas dan empirisme semata. Yang melihat corona sebagai virus, buah dari hasil kreasi laboratorium saja. Tak melihat di sana ada ‘perbuatan Tuhan’. Melainkan dianggap sepenuhnya ‘perbuatan manusia.’ Maka, kesembuhan atau antivirusnya, seolah menunggu pula hasil kreasi laboratorium dari manusia. Inilah yang mengendalikan dunia. Alhasil mencuatkan solusi, ala rasionalitas lagi. Social distance dan sejenisnya, dengan sandaran nalar semata.
Karena yang dominan, masih penanganan ala medical sains, yang tentu bersandar dari rasionalitas belaka. Ini fakta bahwa ‘perbuatan manusia’ dan ‘perbuatan Tuhan’ masih dibedakan. Padahal dunia, seperti dijelaskan Shaykh Abdalqadir as sufi, merupakan bagian dari mekanika quantum-nya Allah Subhanahuwayaala. Nalar manusia membuatnya terbagi, menjadi perbuatan buruk dan perbuatan baik, dan asal usulnya.

Inilah yang menggejala masa modernitas. Nietszche menggambarkan ini sebagai nihilisme. Dalam perspektif kekuasaan, ini fase manusia yang dipimpin oleh kaum perusak. Polybios menggambarkannya sebagai fase okhlokrasi. Bukan lagi demokrasi. Martin Heidegger, filosof abad 20, telah menjabarkan, “Filsafat tak bisa dijadikan sandaran menentukan Kebenaran.”

Sementara, sistem dunia kini masih bersandarkan pada warisan filsafat modernitas. Termasuk dalam segala hal. Apalagi urusan menangani virus, yang dianggap berasal dari ‘perbuatan manusia’ belaka. Rasionalitas menjadi acuan satu-satunya. Statement WHO maupun lembaga-lembaga dunia, hanya mengacu pada angka-angka, bukti empiris, yang bersandarkan pada materislisme. Ini yang mendominasi dunia. Dan manusia seantero dunia, wajib ‘taqlid’ padanya. Tanpa boleh membantah. Karena ‘state –hasil karya kreasi filsafat kekuasaan–, yang menstempel untuk mewajibkan manusia harus percaya. Tentu sembari menebarkan ‘ketakutan’ dan kekhawatiran. Dan bankir, tetap bekerja di balik ‘ketakutan’ dunia. Mereka terus memproduksi angka-angka, alat tukar yang wajib diikuti dunia. Tak perduli virus, yang dianggap wabah dunia. Inilah nihilisme, sebagaimana digambarkan Nietszche.

Dari sini, kaum ‘ahlul Sunnah waljamaah’, harus cermat dalam melihat. Karena berlepas dari paham ‘jabariyya’ atau ‘qadariyya’. Bahwa ini semua perbuatan Allah Subhanahuwataala. Sebagaimana pula maksud dan tujuannya. Karena Allah Subhanahuwataala berfirman:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash Shaaffat: 96)

Sepenuhnya merupakan perbuatan Allah Subhanahuwataala semata. Perbuatan baik dan perbuatan buruk. Tak ada dualisme. Tapi bukan menjadi ‘jabbariyya’ yang bak ‘kapas yang tertiup angin’. Melainkan dengan ikhtiar, kemampuan untuk berusaha. Dan Allah Subhanahuwataala yang menentukan.

Dan tragedy corona telah memberitahu dunia. Betapa mesin dunia kini masih dikendalikan kaum ‘ration scripta’, yang mudah menebarkan ‘ketakutan’ dan kengerian seketika. Akibat tak lagi merujuk pada Sang Pencipta. Kematian seolah menjadi musibah yang luar biasa. Bukan sesuatu yang dirindukan. Dari ‘Wuhan’ menunjukkan ‘al wahn.’ Ini faktanya.

Ketika Mongol menyerbu, memporak-porandakan Baghdad, disitu bak virus yang mewabah kaum muslimin. Perpustakaan filsafat dibakar, Bait al Hikmah. Seolah itu bencana besar bagi muslimin. Interagnum pertama, muslimin tanpa Khalifah. Tapi di balik itu, Allah Subhanahuwataala memberi ganjaran. Kaum Mongol yang kemudian memimpin Islam. Utsmaniyya dan Moghul berjaya.

Virus corona membuka mata kita. Ration scripta masih menggurita. Mengendalikan dan memaksa dunia. Ini pertanda, manusia beriman harus kembali memegang kekuasaan. Memimpin dan memegang kendali. Shaykh Abdalqadir as sufi memberi satu kata: defenestration. Ini jalan menuju ‘new nomos’, sebagaimana digambarkan Carl Schmith. Dari new nomos, penggabungan generasi berlandas ‘assyabiyya’ yang menentang kemusyrikan. Sebagaimana ditunjukkan para Pemuda Kahfi. Berkumpul bersama, membentuk suatu entitas, kumpulan kaum yang meyakini ‘segala sesuatu adalah perbuatan Allah Subhanahuwataala semata.’ Inilah jaman itu. Disela-sela ketakutan dunia, yang diproduksi massal. Bak penggambaran Ian Dallas, dalam ‘The Engine of the Broken World.’ Kejadian yang dulu pernah menimpa Romawi dan Eropa klasik, kini terulang lagi.

Karena virus yang membahayakan tentu kemusyrikan. Virus yang meracuni bahwa segala sesuatu adalah ‘perbuatan manusia’ semata. Disinilah pentingnya kembali Tauhid. Tapi bukan yang merujuk pada ‘Tauhid versi kaum mujasima, atau neo mu’tazilah. Melainkan Tauhid Qurani, yang terjaga dalam ajaran-ajaran tassawuf yang bersanad. Tauhid yang memperkenalkan tentang ma’rifatullah. Bukan teologi.

Sebagaimana Hadist Rasulullah Shallahuallaihi Wassalam: “Iman akan kembali ke Madinah seperti ular kembali ke liangnnya.” (HR Muslim). Iman itulah aqidah. Tauhid.

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq (Direktur Daar Afkar)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita