Merasa Jenuh, Masyarakat di DIY Tolak Pemulasaran Jenazah Pakai Protokol Covid-19

Merasa Jenuh, Masyarakat di DIY Tolak Pemulasaran Jenazah Pakai Protokol Covid-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Persoalan seputar penanganan Covid-19 di DIY terus saja muncul. Tak hanya Bed Occupancy Rate (BOR) atau keterisian tempat tidur di rumah sakit rujukan yang sudah mencapai lebih dari 90 persen, sulitnya mendapatkan oksigen, saat ini muncul masalah baru yang dihadapi para relawan di garda terdepan pemulasaran untuk jenazah pasien Covid-19 yang meninggal.

Kalau pada awal pandemi Covid-19 masuk ke DIY sejumlah warga menolak makam digunakan untuk pemulasaran pasien Covid-19, kini banyak keluarga yang menolak jenazah anggota keluarganya yang meninggal untuk dimakamkan dengan protokol Covid-19.

"Persoalan yang muncul saat ini karena kejenuhan masyarakat [akan Covid-19]. Kalau dulu ambulan tidak berani ke makam karena warga menolak pemulasaran jenazah tapi saat ini justru ada warga yang menolak jenazah diprotokolkan [pemulasarannya secara Covid-19]," ujar Komandan TRC Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, Pristiawan Buntoro dalam jumpa pers daring, Kamis (01/07/2021).

Penolakan tersebut, menurut Pristiawan, jadi masalah serius yang dihadapi para relawan pemulasaran jenazah Covid-19. Apalagi sampai saat ini tidak ada Standar Operational Procedure (SOP) dalam pemakaman jenazah secara medis, termasuk dari rumah sakit.

Untuk mengatasi persoalan ini, para relawan akhirnya membuat kesepakatan secara informal. Bila warga menolak pemulasaran dengan protokol Covid-19, maka mereka harus membuat surat pernyataan atas nama keluarga dengan sepengatahuan perangkat kampung atau desa.

"Ini akhirnya jadi senjata ampuh kami kepada warga menolak membuat surat pernyataan. Kalau menolak kan maka tidak jujur dengan lingkungan, maka mereka dihadapkan pada lingkungan," jelasnya.

Pristiawan menambahkan, selain pemulasaran, angka kematian pasien Covid-19 juga diakui semakin tinggi saat ini di DIY. Relawan bahkan pernah menguburkan dua jenazah dalam satu malam.

Mereka merupakan pasien yang awalnya isolasi mandiri (isoman) di rumah. Namun karena kondisi kesehatan semakin memburuk akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

"Namun karena rumah sakit penuh, akhirnya mereka tidak dapat ditangani secepatnya. Saturasinya pun sangat rendah sehingga kemudian meninggal dunia di rumah sakit," ungkapnya.

Karenanya Pristiawan berharap sesegera mungkin dibentuk tim pemulasaran jenazah infeksius. Apalagi sebenarnya banyak sumber daya manusia (SDM) yang bersedia menjadi relawan.

"Masyarakat yogyakarta banyak yang mau sukarela menjadi relawan membantu," ujarnya

Sementara Koordinator Relawan Gunung Kidul, Agus Kenyung mengungkapkan sejak Juni 2021, rumah sakit rujukan di kabupaten tersebut penuh pasien Covid-19. Sehingga banyak pasien yang terpaksa isoman di rumah.

"Ada beberapa pasien yang isoman meninggal dunia Kami satu malam pernah memakamkan dua kali pemakaman," imbuhnya.[sc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA