Ketika Yahudi Menguji Kerasulan Nabi Muhammad SAW

Ketika Yahudi Menguji Kerasulan Nabi Muhammad SAW

Gelora News
facebook twitter whatsapp


IBNU Katsir mengutip Ibnu Abbas bahwa kafir Quraisy pernah mengutus An-Nadhar ibnul Harits dan Uqbah ibnu Abi Mu’ith kepada para rahib Yahudi di Yatsrib (Madinah) untuk menanyakan cara menguji kenabian.

Para rahib Yahudi lalu menyuruh mereka bertanya pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang perkara yang hanya diketahui para nabi dan ulama Yahudi. Allah ‘Azza wa Jalla kemudian menurunkan Surat Al Kahfi untuk menjawab hal tersebut.[1]

Di antara kisah dalam Surat Al Kahfi yang menjawab pertanyaan para rahib Yahudi adalah Kisah Zulkarnain dan Ashabul Kahfi.

Kisah Zulkarnain

Kisah Zulkarnain disebutkan Surat Al Kahfi ayat 83–98. Dalam Alkitab Ibrani (Yahudi) dan Perjanjian Lama Nasrani, kisah ini terdapat dalam Kitab Ezra yang mencatat riwayat Ezra (Nabi Uzair).

Buya Hamka dalam kitab tafsirnya menyebutkan pendapat Maulana Abul Kalam Azad bahwa Zulkarnain adalah Cyrus, Raja Persia dari Dinasti Achaemeniyah.[2]

Cyrus adalah tokoh non-Yahudi yang sangat dihormati orang Yahudi karena telah membebaskan bangsa Yahudi dari pengasingan di Babylon serta memerintahkan untuk membangun Beit al-Maqdis yang ke-2 setelah Beit al-Maqdis yang ke-1 dihancurkan bangsa Babylon.

“Beginilah perintah Cyrus, Raja Persia: Segala kerajaan di bumi telah dikaruniakan kepadaku oleh TUHAN, Allah semesta langit. Ia menugaskan aku untuk mendirikan rumah bagi-Nya di Yerusalem, yang terletak di Yehuda.” (Kitab Ezra 1: 2).

Zulkarnain berarti Pemilik Dua Tanduk, Cyrus pun dijuluki Pemilik Dua Tanduk karena menjadi pemimpin dua bangsa Indo-Iranian (Persia dan Media). Pahatan di istana Pasargadae (ibukota Achaemeniyah) juga menampilkan Cyrus bermahkota dua tanduk.

Nabi Daniel menyebutnya ‘Domba jantan dengan kedua tanduknya.’ “Domba jantan yang kaulihat itu, dengan kedua tanduknya, ialah raja orang Media dan Persia.” (Kitab Daniel 8: 20).

Di masa Jahiliyah, Kisah Zulkarnain (Raja Cyrus) hanya diketahui orang-orang Yahudi karena kisah ini terdapat di Alkitab Yahudi yang menggunakan bahasa Ibrani. Sedangkan Nabi Muhammad tidak mampu membaca Alkitab Ibrani.

Nabi Muhammad pun tidak pernah berguru kepada Ahli Kitab. Pertemuan Nabi dengan Buhaira dan Waraqah bin Naufal adalah pertemuan singkat yang tidak memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan.

Pertemuan dengan Buhaira saat Muhammad berusia 9 atau 12 tahun, ketika kafilah dagang Abu Thalib melakukan perjalanan ke Syam. Saat itu Buhaira menasehati Abu Thalib agar segera pulang ke Makkah agar Muhammad tidak dibunuh orang-orang Yahudi Syam. (HR. Tirmidzi)[3]

Sedangkan pertemuan dengan Waraqah bin Naufal saat Nabi Muhammad baru saja mendapat wahyu di gua Hira. Saat itu Waraqah hanya menyampaikan,

“Itu adalah Namus (Jibril) yang turun kepada Musa. … Tidak ada seorang pun yang datang membawa seperti yang kamu bawa, kecuali ia akan disakiti. Dan sekiranya aku masih mendapati hari itu, niscaya aku akan menolongmu.” Tidak lama kemudian, Waraqah pun meninggal. (HR. Bukhari)[4]

Walaupun saat itu orang Arab sudah berinteraksi dengan orang Yahudi, termasuk dengan Yahudi di Syam, namun kisah dalam agama Yahudi hanya sedikit mereka ketahui. Itulah mengapa kafir Quraisy tetap harus bertanya kepada rahib Yahudi di Yatsrib (Madinah).

Sehingga ketika Nabi Muhammad mampu menyampaikan Kisah Zulkarnain tanpa perlu berguru serta membaca literatur Ahli Kitab, hal ini menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad mendapat pengetahuan tersebut dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Kisah Ashabul Kahfi

Kisah Ashabul Kahfi disebutkan Surat Al Kahfi ayat 9–26. Berbeda dengan Kisah Zulkarnain, Kisah Ashabul Kahfi tidak ada dalam Alkitab Yahudi dan Nasrani.

Kisah ini terjadi ketika penganut Nasrani Masa Awal mendapat penganiayaan Kaisar Romawi. Sekelompok pemuda Nasrani kemudian bersembunyi dan tidur di sebuah gua. Mereka terbangun sekira 300 tahun kemudian, ketika Kaisar Romawi sudah tidak menganiaya penganut Nasrani.

Kisah ini tidak disebutkan dalam literatur agama Yahudi karena mereka menganggap Nasrani adalah agama sesat dan Nabi Isa adalah juru selamat palsu. Namun kisah ini menjadi perbincangan para rahib Yahudi karena melibatkan pemikiran salah satu sekte Yahudi yang sudah punah.

Menjelang hancurnya Beit al-Maqdis yang ke-2, orang Yahudi terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu Farisi, Saduki, dan Eseni.

Farisi mewakili kalangan yang ketat menafsirkan hukum Taurat, mereka menolak pembauran budaya Yunani (Hellenisme). Saduki mewakili kalangan tuan tanah, mereka terbuka terhadap Hellenisme. Sedangkan Eseni adalah kelompok yang paling sedikit jumlahnya dan hidup mengucilkan diri.

Orang Saduki kerap menjadi imam Beit al-Maqdis, dan sering digambarkan sebagai penentang dakwah Nabi Isa. Pengaruh budaya dan filsafat Yunani memunculkan pemikiran menyimpang di kalangan mereka, di antaranya adalah menolak kebangkitan sesudah mati (di akhirat).

“Maka datanglah kepada Yesus (Nabi Isa) beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan.” (Lukas 20:27)

Kelompok Saduki punah setelah Romawi menghancurkan Beit al-Maqdis yang ke-2 (70 M). Namun pemikiran mereka muncul kembali beberapa abad kemudian dan mempengaruhi agama Nasrani.

Saat Kaisar Romawi sudah menerima agama Nasrani, terjadi perdebatan panas antara aliran-aliran agama Nasrani tentang kebangkitan sesudah mati (di akhirat). Terbangunnya Ashabul Kahfi dari tidur panjangnya kemudian menjadi bukti bahwa kebangkitan sesudah mati (di akhirat) adalah niscaya.

Kisah ini pertama kali disebutkan dalam literatur Nasrani (berbahasa Yunani) sekira abad ke-6 M. Dalam terjemahannya ke bahasa Inggris, kisah ini diberi judul “The Seven Sleepers at Ephesus as Winners of the Heresy of the Sadducees” (Tujuh Orang yang Tidur di Efesus sebagai Pemenang dari Bid’ah Saduki).

Kisah Ashabul Kahfi tidak ada dalam Alkitab Yahudi namun menjadi perbincangan di kalangan para rahib Yahudi. Rahib Yahudi di Yatsrib berkata kepada An-Nadhar ibnul Harits dan Uqbah ibnu Abi Mu’ith,

“Tanyakanlah kepadanya tentang sekelompok pemuda yang pergi pada masa terdahulu, bagaimanakah kejadian yang menimpa mereka? Sesungguhnya mereka memiliki cerita yang mempesona.”[5]

Sehingga ketika Muhammad menyampaikan Kisah Ashabul Kahfi tanpa berguru serta membaca literatur Ahli Kitab, hal ini menjadi bukti bahwa Muhammad adalah seorang Nabi, Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Wallahu A’lam

[1] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 113.
[2] Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz XV-XVI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 261.
[3] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Sunan Tirmidzi no. 3553 (no. 3620 versi Maktabatu al Ma’arif Riyadh).
[4] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits — Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 4572 (no. 4953 versi Fathul Bari).
[5] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, loc. cit.
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita