Panas, Ali Ngabalin Vs Mustofa Nahrawardaya soal Toa Masjid

Panas, Ali Ngabalin Vs Mustofa Nahrawardaya soal Toa Masjid

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Cara membangunkan orang untuk sahur di bulan Ramadhan melalui alat pengeras seperti toa masjid sempat viral dipersoalkan publik figur Zaskia Adya Mecca. Pro dan kontra pun muncul menanggapi polemik tersebut.

Hal ini menjadi bahasan dalam program diskusi Catatan Demokrasi tvOne dengan tema 'Mengeluh karena Toa Masjid'. Dalam salah satu sesi itu terjadi perdebatan antara pegiat media sosial sekaligus aktivis Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya dengan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.

Mustofa dalam paparannya menyampaikan saat ini kondisi masyarakat di Tanah Air melahap semua platform media sosial. Ia menyinggung perlunya edukasi dari pemerintah bagi anak muda terutama remaja dalam polemik membangunkan sahur.

"Jangan kemudian semua DKM diberi tanggungjawab, bagaimana pemerintah mensosialisasikan. Yang pertama itu," ujar Mustofa dikutip VIVA pada Rabu, 28 April 2021.

Dia pun menyinggung masyarakat yang meniru di media sosial. Kemudian, ia merujuk kalimat filsuf dan teolog Al Ghazali. "Maka Al Ghozali mengatakan rusaknya masyarakat itu karena penguasa, penguasa rusak karena ulama. Kan begitu," jelas Mustofa.

Mustofa dalam kesempatan itu juga menyoroti penggeledahan di eks lokasi markas Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan terkait penangkapan Munarman. Ia meminta media massa juga bisa melakukan kroscek karena belum tentu benar seperti itu.

"Kaget, kok tiba-tiba Munarman ditangkap. Munarman yang ditangkap kok yang digeledah Petamburan. Jadi, viral ke mana-mana. Padahal, belum jelas itu salahnya di mana. Masyarakat itu mudah terpengaruh oleh media sosial. Belum tentu benar padahal," ujar Mustofa.

Giliran Ali Ngabalin yang menyampaikan argumennya dengan berdasarkan sirah nabawiyah. Kemudian, ia mengibaratkan dalam persidangan itu misalnya tak ada orang yang coba memegang palu sesuka hatinya. Pun, demikian palu itu seperti sama dengan mikrofon.

"Dalam persidangan itu tidak ada orang yang coba-coba memegang palu sidang itu sesuka hatinya. Itu tertentu karena mikrofonnya ini mengeluarkan suara yang keras. Suara yang keras ini dia pakai sesuka hati," kata Ngabalin. 

"Kalau ini lagi yang menjadi tanggungjawab pemerintah seperti yang disebutkan saudaraku tadi. Wah, luar biasa, masuk ini barang lagi ke pemerintah," lanjut Ngabalin.

Menurut dia, sebagai penduduk mayoritas maka yang perlu ditingkatkan adalah kesadaran. Pemahaman kesadaran yang dimaksud menghormati kelompok minoritas.

"Tidak mungkin kita suruh Markus, Lambertus, yang ada di pinggir, pinggir itu, nggak mungkin. Paham nggak itu? Jadi, cara kita orang banyak, kita kelompok mayoritas, kita kelompok orang beriman yang baik dan beradab makanya kita harus hormati Lambertus, Robert, Paulus, Joseph, dan lain-lain," kata Ngabalin.

Mustofa pun memberikan tanggapan. Ia meminta agar Ngabalin yang merupakan bagian pemerintah juga bisa hati-hati.

"Bang, pertama hati-hatilah. Ini membangunkan sahur nggak sampai menutup bandara, nggak sampai menutup tol, nggak sampai melarang orang," tutur Mustofa.

"Nggak usah, nggak usah masuk ke situ," jawab Ngabalin.

"Memang nggak masuk, saya hanya contohkan saja," kata Mustofa. 

Mustofa menjelaskan dengan merujuk pernyataan Ngabalin. Dia bilang jika secara filosofi mikropon adalah kekuasaan, maka ia menyinggung pejabat menteri agama yang sering kali bicara radikal.

"Hati-hati juga bang. Belum lagi dia ngomong radikal, radikul tiap hari, kan menyakitkan masjid bang," sebut Mustofa.


BERIKUTNYA
SEBELUMNYA