Muslim Myanmar Digantung Junta Militer di Masjid, Dipakaikan Baju Wanita

Muslim Myanmar Digantung Junta Militer di Masjid, Dipakaikan Baju Wanita

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -  Bulan Ramadhan 1442 Hijriah dijalani dengan penuh ketakutan oleh umat Muslim di Myanmar. Itu setelah junta militer berani membunuh jemaah yang berada di masjid.

Hal itu terjadi di tengah kota Yangon, di mana mayoritas warga muslim Myanmar bermukim. Pada pekan pertama Ramadhan, satu Muslim digantung junta militer di dalam masjid.

Tak hanya itu, jemaah itu digantung dengan dipakaikan baju perempuan. Namun hingga kekinian, junta militer belum memberikan keterangan resmi terkait tragedi tersebut.

Daw Zi, bukan nama sebenarnya, mengakui menyaksikan militer Myanmar mengeksekusi jemaah tersebut. Daw Zi termasuk di antara yang melayat pemuda yang sering menjaga masjid itu.

"Sangat menyedihkan dan sangat sulit kondisi di sini...Pemuda itu sendiri di masjid saat ditangkap dan meninggal," kata Daw Zi, bukan nama sebenarnya, perempuan berusia 35 tahun.

Warga Muslim yang tinggal di seputar tempat tinggalnya itu termasuk orang Myanmar sendiri, orang Rohingya dan Muslim dari Asia selatan.

"Kami takut ke masjid pada malam hari. Tak ada yang berani. Kami pulang ke rumah sebelum maghrib dan melakukan tarawih di rumah. Kami buka puasa juga di rumah. Tak aman salat di masjid," tambah perempuan keturunan Rohingya ini kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.

Kabar yang terjadi di Mandalay pada hari pertama Ramadhan juga terdengar oleh mereka di Yangon.

Seorang pria berusia 28 tahun meninggal ketika tentara melepaskan tembakan ke arah masjid Maha Aungmyay, Mandalay.

Kala itu, sang pemuda tengah tertidur, setelah beribadah di masjid, menurut Myanmar Now, media online independen.

Media ini mengutip para saksi mata yang mengatakan tentara langsung melepaskan tembakan dan Ko Htet, pemuda itu, ditembak, di dada dan meninggal di tempat.

Daw Ma Aye, perempuan berusia pertengahan 20an, yang tinggal di Yangon mendengar kabar ini dan mengatakan, "Kami sama sekali tak aman. Mereka seolah memberi kami kebebasan semu yang dapat diambil kapan saja."

"Akan selalu ada penahanan tak terduga-duga tanpa alasan apapun. Jadi sama sekali tak aman untuk salat di masjid," katanya lagi kepada BBC News Indonesia.

Ketakutan menjadi sasaran

Selain Daw Zi, dan Daw Ma Aye, anak muda Muslim lain, U Jee, bukan nama sebenarnya, juga merasa was-was dan selalu berwaspada, dan takut menjadi incaran.

"Tidak, kami tak bisa tarawih karena jam malam. Namun militer juga secara rutin dan random memeriksa masjid. Mereka dapat menahan orang yang berkunjung ke masjid dan membuat orang takut pergi ke masjid, karena itu sejumlah masjid tutup," cerita U Jee.

"Selama siang hari, sebelum buka puasa, orang-orang di tengah kota mencoba menjual makanan di tengah situasi penuh risiko dan bahaya. Mereka perlu menjual sesuatu untuk menyambung hidup."

"Setelah jam 19:00 malam, semuanya tutup, orang-orang di dalam rumah dan berdiam. Sepanjang malam, banyak polisi dan tentara yang berpatroli di seputar tengah kota," tambahnya.

Daw Zi, Daw Ma dan U Jee termasuk anak-anak muda yang ikut serta dalam protes besar yang pecah setelah militer melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu.

Dari ketiga mereka, hanya Daw Zi yang orang Rohingya.

Cecep Yadi, seorang warga Indonesia yang berteman baik dengan ketiganya saat tinggal di Yangon, mengatakan kondisi saat ini benar-benar traumatis buat semua.

"Ramadan tahun lalu sangat peaceful (damai) yah... Aktifitas seperti biasa... Tempat belanja, pasar, restoran buka seperti biasa.. Warga Muslim juga berpuasa dengan lancar dan damai," kata Cecep.

Namun dalam dua bulan terakhir, anak-anak muda Myanmar, tak terkecuali termasuk yang Muslim berada dalam kondisi kekhawatiran.

"Mereka benar-benar trauma dan sedih, melihat orang meninggal setiap hari, di depan mata... Meninggal karena disiksa, dibunuh oleh polisi dan tentara," kata Cecep Yadi, yang meninggalkan Myanmar akhir Maret.

"Saya sendiri sangat trauma dua bulan di zona perang, menyaksikan apa yang terjadi dan dengan perjuangan keluar dari Myanmar. Kesedihan dan trauma terberat yang pernah saya alami," tambah Cecep.

Ia mengatakan upaya untuk keluar dari negara itu cukup berat dengan surat dari KBRI dan penjagaan tentara di polisi sampai ke bandara.

Protes besar yang diikuti ribuan orang di banyak kota di Myanmar sepanjang Maret lalu dibalas militer dengan kekerasan dan menyebabkan paling tidak 700 orang meninggal, termasuk puluhan anak-anak, sementara banyak lainnya ditahan.

Tambah suram bila militer mendapat kekuasaan lebih

Ronan Lee, seorang pengamat dari International State Crime Initiative - komunitas yang meneliti dokumen kejahatan negara - mengatakan kondisi Muslim di Myanmar khususnya warga Rohingya akan "tetap suram."

Lee mengatakan kondisi Muslim Rohingya akan semakin parah bila junta mendapatkan kekuasaan lebih.

Ia mengatakan, seperti dikutip South China Morning Post, mereka "sangat rentan atas penyiksaan lebih lanjut oleh militer."

Lee, yang juga penulis buku Myanmar's Rohingya Genocide: Identity, History and Hate Speech, mengatakan sering matinya internet dan penahanan para wartawan juga membuat kondisi lebih sulit untuk mengangkat nasib warga Rohingya.

Nasir Zakaria, direktur eksekutif Rohingya Culture Centre yang berkantor di Chicago, Amerika Serikat, memperingatkan bahwa warga Muslim Rohingya berada "di ambang bahaya besar."

"Tidak ada cara untuk melindungi mereka. Militer sangat kuat. Orang Rohingya bisa ditahan, dibunuh, diculik dan diperkosa," kata Nasir.

Sementara Ronan Lee mengatakan kekejaman yang dihadapi warga sipil Rohingya pada 2017 termasuk pembunuhan, penahanan, perkosaan dan mereka sama sekali tak berdaya menghadapi tentara dengan senjata lengkap.

Lee mengatakan sekitar 140.000 warga Rohingya dikumpulkan di kamp konsentrasi di negara bagian Rakhine, tempat mereka dipaksa tinggal sejak 2012.

Ia mengatakan mereka yang berada di luar kamp menjalani apa yang ia sebut "sistem aparteid" dengan pembatasan bergerak termasuk ke desa-desa sekitarnya, akses pendidikan, kesehatan dan bekerja juga terbatas.

"Genosida yang didokumentasikan oleh PBB tak berubah banyak dalam tahun-tahun terakhir ini dan di desa-desa Rohingya terlihat kemiskinan dan ketakutan terhadap militer," kata Lee mengacu pada laporan PBB pada 2019 tentang kondisi Rohingya.

Dalam laporan itu PBB menyimpulkan terjadi "risiko serius aksi genosida akan kembali terjadi."

Sejak kudeta 1 Februari lalu, para pengamat mengatakan mayoritas etnis Bamar lebih bersimpati atas nasib warga Rohingya.

Salah satu kelompok sipil bulan lalu bahkan berjanji untuk mencari keadilan bagi kelompok minoritas itu. Tetapi tak banyak yang mereka lakukan untuk melindungi Rohingnya dari militer.

Nay San Lwin, pendiri Free Rohingya Coalition - jaringan global para aktivis Rohingya - menyatakan kekhawatiran bahwa pemimpin militer Min Aung Hlaing, yang merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, akan meluncurkan kekerasan lagi terhadap warga Rohingya.

"[Min Aung Hlaing] pernah mengatakan bahwa krisis Rohingya adalah masalah yang belum selesai sejak Perang Dunia II," kata Nay San Lwin.

Bagi Daw Zi dan teman-temannya, anak-anak muda Myanmar, di tengah ketidakpastian ini, ia hanya mengatakan, "Kami tak tahu apa yang akan terjadi namun kami tetap ingin demokrasi untuk kebebasan." []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita