Kisah Raden Adjeng Kartini, Menentang Keras Poligami Namun Akhirnya Mau Dipoligami

Kisah Raden Adjeng Kartini, Menentang Keras Poligami Namun Akhirnya Mau Dipoligami

Gelora News
facebook twitter whatsapp


MEMPERINGATI Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, banyak cerita soal perjuangan Raden Adjeng Kartini sebagai sosok perubahan yang membawa pergerakan emansipasi perempuan pada abad ke-19. Mungkin sebagian dari kamu sudah tahu, seperti apa cerita perjuangan Kartini demi memajukan para perempuan pada kala itu yang sangat menginspirasi.

Selain cerita perjuangannya memajukan pemikiran perempuan dengan niat mulia mendirikan sekolah khusus perempuan, ada satu cerita menarik tentang Kartini yang sayang untuk dilewatkan. Yakni, cerita tentang Kartini yang dipaksa menikah oleh keluarganya.

Kisah ini terjadi pada tahun 1903, saat Kartini berusia 24 tahun. Kala itu, usia 24 tahun sudah dianggap perawan tua bila tidak segera menikah.

Sebagai perempuan yang lahir di kalangan bangsawan (ayah Kartini adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat), Kartini diharuskan menikah dengan seseorang yang juga berdarah bangsawan. Maka itulah, sang ayah memaksanya menikah dengan  K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Rembang. Kabarnya, Kartini dan sang suami memiliki perbedaan usia yang cukup jauh.

Karena ia menaruh hormat dan ingin berbakti pada sang ayah, akhirnya Kartini menerima pernikahan tersebut dengan syarat. Salah satunya syaratnya adalah ia tak ingin melakukan prosesi adat pernikahan dengan berjalan jongkok, berlutut dan mencium kaki suami. Hal ini adalah bentuk keputusannya yang menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, Kartini juga ingin tetap diperbolehkan mengejar cita-cita memajukan para perempuan Hindia Belanda. Ia ingin dibuatkan sekolah khusus perempuan dan meminta untuk mengajar sebagai guru di Rembang. Beruntung, syarat-syarat tersebut dipenuhi oleh Raden Adipati Djojodiningrat sehingga Kartini merelakan dirinya dipoligami dan dijadikan istri ke-4.

Padahal, Kartini merupakan sosok yang menentang keras adanya poligami. Karena sejak kecil, ia sudah paham betul bagaimana rasanya tumbuh di keluarga yang menganut poligami.

Saat ia kecil, sang ayah yang menjabat sebagai Bupati Jepara harus menikah dengan seseorang yang juga keturunan bangsawan. Maka dari itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan, seorang perempuan keturunan bangsawan. Ibu Kartini, Ngasirah, harus memikul beban hidup dan rela dimadu dalam pahitnya kehidupan.

Dari berbagai cerita yang beredar, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat menikahi Kartini atas permintaan mendiang sang istri, Sukarmilah, sebelum meninggal. Sukarmilah mengagumi Kartini dan pemikiran-pemikirannya sehingga meminta Ario Singgih menikahinya agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik.

Namun sayang, perjuangan Kartini untuk meraih emansipasi perempuan harus terhenti di usia 25 tahun. Ia wafat pada 17 September 1904, atau empat hari setelah melahirkan putranya yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Meski demikian, semangat dan perjuangannya dalam memajukan perempuan Indonesia masih terasa hingga kini.

Terbukti, atas sumbangan pemikiran yang telah diberikan Kartini kepada Indonesia, Presiden Soekarno pun mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964. Dalam keputusan tersebut, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Selain itu, Soekarno juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Hari tersebut ditetapkan sesuai dengan tanggal lahir Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 1879. Selain itu, peringatan tersebut dibuat untuk mengenang jasa-jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia. Sejak saat itulah, peringatan Hari Kartini pun terus dilakukan setiap tahunnya hingga sekarang. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita