Tentang Wayang Diapit Foto Ibunda-Bu Ani saat SBY Tanggapi KLB Demokrat

Tentang Wayang Diapit Foto Ibunda-Bu Ani saat SBY Tanggapi KLB Demokrat

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Background yang dipajang di belakang Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat konferensi pers guna menanggapi acara yang diklaim sebagai Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat mencuri perhatian. Background di belakang SBY itu dinilai memiliki makna tersendiri.

SBY menggelar konferensi pers di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/3/2021) malam, untuk merespons agenda yang diklaim sebagai KLB Demokrat yang diselenggarakan di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Ada pajangan wayang yang berada tepat di belakang SBY, yang diapit foto almarhumah Ani Yudhoyono dan sang ibunda SBY.

Menurut pakar budaya Jawa dari Universitas Indonesia (UI) Darmoko, penempatan wayang yang diapit oleh foto istri dan ibu SBY memiliki makna tersendiri. Sebelum masuk ke maknanya, Darmoko lebih dulu menjelaskan wayang yang berada di belakang SBY.

"Itu namanya di dalam jagat pewayangan, gunungan atau kayon. Wayang itu, sekali lagi saya katakan, kalau di istilah jagat pewayangan itu namanya gunungan atau kayon. Dinamakan gunungan itu karena bentuknya menyerupai gunung. Nah, itu dinamakan kayon karena kayon itu secara harfiah kan berasal dari kata kayu, mendapat sufiks atau akhiran an. Jadi itu sebetulnya kayu dalam arti pohon," ungkap Darmoko, saat berbincang dengan detikcom, Minggu (7/3/2021).

"Cuma itu memang mempunyai ekspresi simbolik. Ada simbol-simbol. Kalau di dalam dunia pewayangan itu kan, simbol-simbol itu kan sesuatu yang kita sebut sebagai pasemon, yang semu itu disamarkan, atau ada sesuatu yang disembunyikan. Maka itu harus mencari maknanya," imbuhnya.

Gunungan sendiri ada dua jenis, yakni gunungan lanang (laki-laki) dan gunungan wadon (perempuan). Darmoko menyebut gunungan yang berada di belakang SBY adalah gunungan lanang. Gunungan merupakan simbol alam semesta.

"Kembali kepada gunungan itu, kayon itu sendiri, karena memang gunungan atau kayon itu kan sebenarnya sebagai simbol alam semesta, kehidupan secara menyeluruh. Hubungan manusia dengan lingkungannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Itu ada di dalam kehidupan kayon itu, di dalam gunungan itu," ucap Darmoko.

Jika dilihat, ada bentuk seperti gapura dalam gunungan yang berada di belakang SBY. Bentuk seperti gapura itu, menurut Darmoko, sebagai salah satu ciri gunungan lanang.

"Jadi gunungan lanang itu biasanya dalam bentuk ekspresi rupa gapura. Makanya gapura. Nah ada juga gunungan yang satunya, gunungan wadon, ekspresinya dalam bentuk kolam, di situ ada gambar ikan, air dan sebagainya. Kemudian, kalau gunungan lanang di dalam tradisi dan konvensi pewayangan itu kalau di balik, ya dari seni rupanya, itu biasanya ada ekspresi warna kemerahan. Ada api yang berkobar," papar Darmoko.

Menurut Darmoko, antara gunungan dengan foto istri dan ibu SBY memiliki makna yang berhubungan. Dia menilai gunungan yang diapit dengan foto istri dan ibu SBY mempunyai makna keseimbangan. Sementara penempatan foto istri dan ibu SBY, dinilai sebagai bentuk kekuatan spiritual.

"Yang pertama tentu saja keseimbangan. Itu kan gambar-gambar yang merupakan keseimbangan itu kalau menurut saya. Gunungan hanya satu, kemudian diapit oleh Ibu Ani dan Ibunya Pak SBY. Jadi kalau orang Jawa itu, itu misalnya kalau mendapatkan suatu musibah, ini kan Pak SBY konferensi persnya kan berkabung nasional atau berkabung Demokrat, gitu kan. Itu sebenarnya, katakan lah berkomunikasi atau ingin mengekspresikan perasaannya, untuk mengomunikasikan bahwa kami yang hidup di dunia ini sebenarnya ingin mendapatkan kekuatan spiritual," papar Darmoko.

"Foto-foto yang dipajang itu kan bukan tidak mungkin supaya memberikan spirit, kekuatan, spirit, kekuatan batin yang di luar fisik. Nah itu Ibunya Pak SBY, dan Ibu Ani Yudhoyono itu. Menurut penafsiran saya, itu sebenarnya merupakan ya tokoh-tokoh di luar sana untuk turut serta memberikan spirit, semangat dan kekuatan jiwa dan kekuatan batin, itu," sambung dia.

Lebih lanjut, Darmono menafsirkan SBY menginginkan adanya keseimbangan atau keharmonisan, sebab gunungannya berada di antara foto istri dan ibu SBY. Keseimbangan tersebut, katanya, perlu dibentuk dengan kekuatan spiritual.

"(Gunungan) yang di tengah itu sebenarnya Pak SBY mengkehendaki suatu keadaan yang seimbang, yang harmoni, terkait dengan gambar gunungan itu. Untuk ke keadaan harmoni, keseimbangan itu, perlu dibantu kekuatan spiritual, yaitu dari Ibu SBY dan Ibu Ani Yudhoyono," terangnya.

Kemudian beralih ke makna dua raksasa penjaga gapura seperti dalam gunungan di belakang SBY. Penafsiran Darmoko, bagi mereka yang ingin memasuki istana harus mendapat izin dari dua raksasa tersebut.

"Jadi sebenarnya, kalau saya menafsirkan, siapa pun yang akan menuju ke keseimbangan itu, ke istana itu, perlu izin, perlu permisi, perlu berkomunikasi. Jadi, adanya kesepahaman antara penguasa dengan yang akan meminta untuk ya, misalnya konsolidasi atau semacam ya, ingin sesuatu. Ingin sesuatu itu bisa saja jabatan, bisa saja itu pangkat, bisa saja itu kekuasaan dan sebagainya ya, seyogyanya meminta izin kepada yang menjaga itu. Jadi penafsiran itu kok akhirnya ke sana. Nah siapa itu? Yang sah. Yang sah itu siapa? Ya menurut Pak SBY, AD/ART-nya Pak SBY itu. Jadi kekuasaan masih ada di SBY dan AHY," sebut Darmoko.

Darmoko kembali menjelaskan bahwa gunungan adalah ekspresi simbolik dari alam semesta. Dalam konteks SBY, alam semesta dimaksud adalah Partai Demokrat.

"Sementara gunungan itu kan tadi ekspresi simbolik dari kehidupan alam semesta. Alam semesta itu kan sebenarnya Partai Demokrat itu sendiri. Itu jagatnya Pak SBY, dunianya Pak SBY dengan Partai Demokrat. Dunianya itu komunikasi hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan. Itu dibikin sedemikian rupa sehingga relasi-relasi atau hubungan timbal balik itu seyogyanya harmoni. Ya kalau harmoni itu kan keadaan aman, tentram, damai, sejahtera, itu yang diharapkan dari seorang SBY. Jadi sasaran dan maksud itu sebenarnya keinginannya itu, mbok ya kita yang aman-aman, yang damai, yang tentram, jangan sampai terjadi kekacauan. Itu hal yang lumrah di dunia pewayangan," papar Darmoko.

Selain itu, menurut Darmoko, terkait gunungan yang berada di belakang SBY ini juga ada kaitannya dengan kaidah drama atau kaidah teater, yakni mengkehendaki adanya konflik. Begitu pula dalam pewayangan yang terdapat konflik di dalamnya.

Darmoko menuturkan bahwa wayang sendiri bukan hanya sebuah mitos, tetapi juga politik, ada perspektif politik. Sebab, dalam pewayangan ada perebutan tahta, harta bahkan wanita.

"Tetapi, nah ini kaitannya dengan kaidah drama ini, kaidah teater. Drama atau teater itu mengkehendaki konflik, tanpa konflik itu tidak ramai, kan begitu ya. Dalam dunia pewayangan, pedalangan, teks-teks naratif itu dibikin, dikemas sedemikian rupa sehingga konflik harus terjadi, antara baik buruk, antara Pandawa-Kurawa kalau di Mahabarata, antara Pancawati dengan Alengka kalau di Ramayana. Bala tentara Rama dan bala tentara Rahwana. Dalam Mahabarata, bala tentara Pandawa dan bala tentara Kurawa. Selalu dibikin seperti itu. Kalau tidak ada konflik kan tidak ada seru di dalam dunia wayang. Sehingga eksesnya itu eksesnya dari suatu kejadian kekacauan, konflik, kejadian suatu pertarungan politik," jelas Darmoko.

"Wayang itu sendiri, di samping mitos, kan politik. Membahas wayang itu ya bahas politik. Di situ kan ada perebutan tahta, perebutan harta, perebutan wanita kalau perspektif laki-laki. Cinta itu kan wanita, diperebutkan oleh Rahwana dan Rama kemudian menjadi perspektif politik, peperangan mempertaruhkan negara, pertaruhan kekuasaan. Di sini (konflik Demokrat) juga sebenarnya eksesnya pada pertaruhan kekuasaan, bertaruh kekuasaan," pungkasnya. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita