Diduga Back-up Mafia Tanah, Resmob Polda Metro Dilaporkan ke Propam dan Kompolnas

Diduga Back-up Mafia Tanah, Resmob Polda Metro Dilaporkan ke Propam dan Kompolnas

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Diduga telah memback-up aksi mafia tanah dan bersekongkol dengan sindikat itu, Subdit 3 Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. 

Pelaporan tersebut dibuat berdasarkan tindakan Resmob Polda Metro Jaya yang dianggap merugikan ahli waris dan menguntungkan mafia tanah terkait sebidang tanah seluas 7.999 meter persegi di daerah Kembangan, Jakarta Barat, senilai sekitar Rp 100 Miliar.

"Mereka dari Subdit Resmob Polda Metro sudah mengambil alih lahan kita secara paksa dan sewenang-wenang. Katanya ada surat SK dari Menteri Pertanahan BPN untuk mengosongkan lahan tersebut dan status quo, tapi setelah dikosongkan langsung diserahkan ke pihak lain lawan kami yakni, PT Proline Finance Indonesia. Kami menganggap tindakan polisi itu merupakan tindakan premanisme," kata kuasa ahli waris, Charles Ingkiriwang saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (5/3/2021) malam.

Menurut Charles, perebutan paksa lahan oleh petugas dari Subdit Resmob, terjadi pada 26 November 2020 lalu.

"Ada seratusan personel Subdit Resmob Polda Metro Jaya dengan dua bus mengambil alih lahan milik ahli waris Damiri," ujar Charles.

Mereka kata Charles juga mengusir keluarga ahli waris agar keluar dari rumah atau bangunan yang ada di lahan itu.

Bukan itu saja, kata Charles, Subdit Resmob sebelumnya menetapkan ahli waris Damiri sebagai tersangka, tanpa pemeriksaan terlebih dulu dan dengan dasar bukti palsu yang dbuat oleh mafia tanah. 

"Damiri dijadikan tersangka atas dugaan memasuki lahan pekarangan orang lain. Padahal, tanah yang ditinggalinya adalah miliknya sendiri," katanya.

Saat lahan akan diambil alih, Charles mengaku sudah menunjukan bahwa sertifikat yang dimiliki PT PFI sudah dicabut oleh BPN Barat dan Kanwil DKI.

"Tapi polisi nggak mau tahu. Ini artinya mereka bagian mafia tanah," katanya.

Sementara itu, kuasa hukum ahli waris, Febriansyah Hakim mengatakan pihaknya sempat mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka Damiri H Sajim. Namun, di tengah proses praperadilan, Damiri H Sajim meninggal dunia.

"Karena sejak awal almarhum sudah dalam keadaan sakit, tapi tetap dijemput paksa oleh Resmob Polda Metro Jaya," katanya.

"Memang banyak yang dilanggar oleh pihak Polda Metro, kita adukan ke pihak Ditropam Polda Metro Jaya, Kompolnas, Ombudsman dan sampai hari ini prosesnya terus berjalan. Saya sudah diperiksa, sudah memberikan keterangan dan akan dibuatkan lagi keterangan saksi dari kuasa ahli waris," kata Febriansyah.

Febriansyah menjelaskan awalnya kasus ini bermula almarhum Lie Bok Sie memiliki sebidang tanah di desa Kembangan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat yang tercatat dalam Girik C Nomor 1970 Blok D.II Persil Nomor 22 atas namanya sendiri.

Kemudian beralih kepada ahli waris, yaitu  Etty Widjaja, Lie Tjie Hian, Damiri H Sadjim, Lie A Tjun, Anyo, Jaya alias Lie Kun yang berdasarkan surat ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat nomor 19/PDT/P/1991 tanggal 28 Januari 1991.

Kemudian seorang pengacara bernama Herry Thung (almarhum) menawarkan jasa kepada pewaris untuk dibuatkan sertifikat. Namun justru Herry Thung membuat sertifikat hak guna bangunnan sebagian tanah tersebut atas nama sendiri dengan luas 4.995 M2 dan atas istrinya, Juliana Wairara seluas 3.000 M2.

Herry Thung melakukan penjualan fiktif tanah tersebut kepada sopir atas nama Sony Febrimas dan Herry Thung menjual lagi tanah tersebut kepada PT Anugerah. 

Kemudian PT Anugerah meminjam uang ke salah satu perusahan dan kemudian sertifikat tersebut ditebus oleh PT Proline Finance.

Namun, PT Proline Finance tidak bisa melakukan pelelangan tanah tersebut karena masih bersengketa.

Dalam perkara ini ahli waris telah memenangkan gugatan dengan kekuatan hukum tetap atau in kracht. 

"In Kracht berdasarkan putusan pengadilan negeri Jakarta Barat nomor 179/PDT.G/2002/PN.Jkt.Bar tanggal 21 November 2002 Jo putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta Nomor 287/PDT/2003/PT.DKI tanggal Desember 2003 Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 1784 K/PDT/2004 tanggal Juni 2005 Jo Putusan Peninjaun Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 173 PK/PDT/2006 tanggal 9 November 2006," tegas Febriansyah. 

Sebelumnya Febriansyah menjelaskan karena lahannya telah direbut paksa dan justru sempat dijadikan tersangka oleh polisi, Damiri H Sajim melalui tim kuasa hukum, melaporkan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam hal ini Subdit Resmob, ke Bid Propam Polda Metro Jaya.

Pelaporan dilakukan pada 28 November 2020 lalu, dan sampai awal Maret 2021 ini tengah dalam proses penyelidikan dan sudah masuk dalam pemeriksaan pelapor serta saksi.

Febriansyah menjelaskan kliennya sebenarnya adalah korban sindikat mafia tanah yang selama ini beraksi dengam melibatkan sejumlah penegak hukum dan pejabat pemerintahan.

Di mana lahan milik Damiri selaku ahli waris, seluas 7.999 meter persegi di Jalan Raya Kembangan, Kelurahan Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, kini diklaim dan dikuasai pihak lain yakni PT PFI berdasarkan dua sertifikat tanah.

PT PFI adalah sebuah perusahaan finansial yang berkantor di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

"Padahal lahan itu adalah milik keluarga besar atau orangtua klien kami, yang sudah ditempati sejak 1961," kata Febriansyah kepada wartawan.

Kepemilikan lahan kata Febri berdasar surat Girik C Nomor 1970 Blok D.II Persil Nomor 22 atas nama Lie Bok Sie, orangtua Damiri. Lie Bok Sie diketahui sudah tinggal dan memiliki lahan seluas sekitar 2 hektar di sana, sejak 1961.

Namun kata Febriansyah, tiba-tiba sebagian lahan yakni seluas 7.999 meter persegi diakui milik PT PFI, berdasarkan dua sertifikat tanah.

Karenanya keluarga atau para ahli waris kata Febriansyah mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2002 lalu. "Dan ahli waris dimenangkan hingga pada tingkat Mahkamah Agung. Sehingga sudah memiliki kekuatan hukum tempat," kata Febriansyah.

Berdasarkan kekuatan hukum itulah katanya para ahli waris menempati lahan yang dimaksud.

Namun katanya PT PFI, tak tinggal diam untuk dapat menguasai lahan tersebut. Yakni dengan membuat laporan ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 2020 lalu, yang seakan-akan lahan mereka ditempati orang lain selama ini.

"Dan tiba-tiba saja klien kami ditetapkan tersangka oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Ini berdasarkan surat panggilan penyidik ke klien kami dengan status tersangka, tertanggal 16 November 2020," katanya.

Dalam surat panggilan katanya, Damiri ditetapkan sebagai tersangka dugaan memasuki pekarangan milik orang lain tanpa izin, dan atau pengrusakan secara bersama-sama, dan atau pengrusakan dan atau perbuatan disertai ancaman kekerasan, sesuai Pasal 167 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal 406 KUHP dan Pasal 335 KUHP. 

"Ini kan aneh karena berdasarkan putusan MA, lahan itu memang milik ahli waris. Selain itu tanpa ada klarifikasi dan pemanggilan, klien kami tahu-tahu sudah jadi tersangka," katanya.

Karenanya menurut Febriansyah, penyidik sama sekali tidak melakukan penyelidikan sebagai proses penetapan tersangka. "Bahkan kemungkinan alat buktinya juga direkayasa," ujarnya.

Dalam panggilan itu katanya Damiri diminta hadir pada 18 November 2020. "Karena surat panggilan diterima 17 November atau sehari sebelumnya, klien kami tidak dapat memenuhi panggilan," katanya.

Lalu kata dia, datang kembali surat panggilan kedua pada 18 November 2020 agar kliennya memenuhi panggilan penyidik pada 20 November. 

"Karenanya kami mengirim surat ke penyidik bahwa klien kami tidak bisa hadir, dengan pertimbangan bahwa tenggang waktu dalamsurat pemanggilan tidak sesuai KUHAP," katanya.

Selain itu kata Febriansyah kliennya sudah berusia lanjut yakni 71 tahun, memiliki sesak nafas yang disertai keterangan dokter. "Apalagi saat itu masih dalam situasi pandemi dan klien kami rentan terpapar," katanya.

Namun tambah Febriansyah, kliennya dijemput paksa penyidik karena tidak memenuhi dua panggilan itu. "Yang menjemput ada sekitar 15 orang polisi Subdit Resmob untuk menangkap klien kami yang sudah berusia lanjut," katanya.

Karena kondisi yang tidak sehat saat dijemput paksa, kata Febriansyah, kliennya tidak bisa menjalani pemeriksaan oleh penyidik. 

"Penyidik kemudian membuat berita acara penolakan pemeriksaan oleh klien kami. Setelah itu klien kami diminta wajib lapor sejak 24 November 2020," katanya.

Karena usia lanjut dan sakit yang diderita kata Febriansyah, kliennya akhirnya meninggal dunia pada 12 Januari 2021 lalu. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita