Napoleon 'Berdendang', Sebut Kabareskrim dan Azis Syamsuddin

Napoleon 'Berdendang', Sebut Kabareskrim dan Azis Syamsuddin

Gelora News
facebook twitter whatsapp



GELORA.CO - Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte dihadirkan Jaksa Penuntut Umun sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selasa (24/5). Napoleon bersaksi untuk terdakwa Tommy Sumardi terkait perkara suap Djoko Tjandra.

Dalam persidangan, Napoleon buka-bukaan ihwal pengurusan red notice Djoko Tjandra. Ia bahkan menyebut nama Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan Keamanan.

Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sophan menanyakan kepada Napoleon ihwal awal perkenalannya dengan Tommy Sumardi. Napoleon pun menuturkan bahwa ia mengenal Tommy pada awal April 2020. Kala itu, ia dikenalkan oleh Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kabiro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.

"Dia (Prasetijo) datang ke kantor saya di TNCC lantai 11 bersama dengan Terdakwa (Tommy). Maksud dan tujuannya adalah memperkenalkan terdakwa pada saya. Kemudian, setelah dikenalkan tidak berapa lama pada saat itu, terdakwa mengatakan pada Brigjen Prasetijo, silakan bintang satu keluar dari ruangan ini urusan bintang tiga, sehingga Brigjen Prasetijo menunggu di ruang Sespri saya, sehingga saya berada di ruangan dengan terdakwa, pada saat itu terdakwa menjelaskan maksud dan tujuan, untuk minta bantuan mengecek status red notice Djoko Tjandra, " terang Napoleon.

Usai ditinggal berdua saja dengan Tommy, Napoleon pun menanyakan kaitan Tommy dengan Djoko Tjandra. Hal ini lantaran Tommy bukanlah saudara, keluarga ataupun pengacara Djoko Tjandra. Kepada Napoleon, Tommy mengaku sebagai teman Djoko Tjandra.

Napoleon mengaku belum begitu yakin dengan penjelasan Tommy. Untuk meyakinkan Napoleon, Tommy pun membawa nama Kabareskrim Komjen Listiyo Sigit.

"Lalu dia bercerita, terdakwa yang mengatakan, ini bukan bahasa saya, tapi bahasa terdakwa pada saya, menceritakan kedekatan beliau, bahwa ke tempat saya ini sudah atas restu Kabareskrim Polri. Apa perlu telepon beliau? Saya bilang tidak usah, saya bilang Kabareskrim itu junior saya, tidak perlu. Tapi saya yakin bahwa kalau seorang Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari Bareskrim dibawa ke ruangan saya, ini pasti ada benarnya, " tutur Napoleon

"Tetapi saya kembali tidak mudah percaya lalu melihat gestur saya kurang percaya. Terdakwa menelpon seseorang. Setelah sambung, terdakwa seperti ingin memberikan teleponnya pada saya. Saya bilang siapa yang anda telepon mau disambungkan pada saya?" lanjut Napoleon.

"Terdakwa mengatakan 'Bang Aziz', Aziz siapa? 'Azis Syamsuddin'. Oh Wakil Ketua DPR RI? Ya. Karena dulu waktu masih Pamen saya pernah mengenal beliau, jadi saya sambung, 'Asalamualaikum, selamat siang Pak Aziz, eh bang apa kabar. Baik. Pak Aziz saya sampaikan, ini di hadapan saya ada datang pak haji Tommy Sumardi. Dengan maksud tujuan ingin mengecek status red notice. Mohon petunjuk dan arahan pak. Silakan saja, pak Napoleon. Baik'. Kemudian telepon ditutup, saya serahkan kembali. Menggunakan nomor HP terdakwa, " jelas Napoleon.

"Jadi terus terang, saya melihat pertama kedatangan Brigjen Prasetijo mengantarkan pak Tommy menemui saya pasti ada sesuatu. Dan betul kemudian terdakwa menceritakan banyak hal pada saya tentang kedekatan beliau dengan Kabareskrim Polri," ujar Napoleon.

Mendengar penuturan Napoleon, JPU pun ingin menanyakan keterkaitan dengan Djoko Tjandra. Namun, Napoleon masih ingin terus menjelaskan terkait cerita Tommy yang akhirnya membuat dirinya percaya kedekatan Tommy dengan Kabareskrim.

"Saksi ini terkait Djoko Tjandra, " sela Jaksa.

"Mohon waktu penuntut umum saya melanjutkan sedikit lagi.
Termasuk menceritakan bagaimana beliau menjadi Koordinator pelaksana enam dapur umum yang dikelola oleh Kabareskrim Polri, tersebar di enam titik di kota Jakarta, Menteng, Tanah Abang, dan beberapa pos itu. Sehingga saya menjadi lebih mafhum, tapi pada saat itu saya mengatakan begini, kalau  bapak ingin mengecek red notice Djoko Tjandra saya tidak punya posisi yang kuat," terang Napoleon.

Selain Napoleon, JPU juga menghadirkan saksi lainnya yakni
Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang sempat menjabat Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Namun setelah sengkarut Djoko Tjandra muncul, Brigjen Nugroho dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang Lemdiklat Polri.

Dalam persidangan, Nugroho menceritakan mekanisme Red Notice. Ia meneramgkan bahwa  red notice terhapus apabila tersangka meninggal dunia dan kemudian ada permintaan dari pemohon red notice.

"Saya kira cuma dua itu," kata Nugroho.

"Jangka waktunya kapan terhapus, " tanya Jaksa.

"Terhapus dalam jangka lima tahun. Kalau red notice apabila sudah habis masa berlakunya, maka secara sistem dia akan terhapus dengan ketentuan dari Interpol," jawabnya.

Jaksa lantas menanyakan kapan red notice Djoko Tjandra terhapus.

"Saya kan masuk 2020, yang saya baca data diinformasikan ke saya 2019 Januari ada informasi saja permintaan pertanyaan apabila tidak ada jawaban negara yang minta akan terhapus by system, Januari 2019," jawab Nugroho.

"Apakah Januari 2019 status red notice Djoko Tjandra masih aktif?" tanya jaksa lagi.

"Tidak demikian juga, aktif itu kalau data yang menyertainya masih lengkap. Tidak dimintakan perpanjangan Juni akan terhapus by system," kata Nugroho.

Nugroho mengatakan red notice Djoko Tjandra hanya bisa dilihat dan datanya tidak valid. Red notice Djoko Tjandra, sebut Nugroho, sudah tidak valid sejak 2014.

Sebelumnya, JPU mendakwa pengusaha Tommy Sumardi menjadi perantara suap terhadap kepada Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS, serta kepada Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.

Tommy Sumardi menjadi perantara suap dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra. Suap itu ditujukan agar nama Djoko Tjandra dihapus dalam red notice atau Daftar Pencarian Orang Interpol Polri.

Sementara, Djoko Tjandra didakwa menyuap Irjen Napoleon sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS. Djoko Tjandra juga didakwa memberikan suap kepada Brigjen Prasetijo sebesar 150 ribu dolar AS. Suap itu diberikan Djoko Tjandra melalui perantara seorang pengusaha, Tommy Sumardi.

Djoko Tjandra diduga menyuap dua jenderal polisi tersebut untuk mengupayakan namanya dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Ditjen Imigrasi, dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI. []

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA