Dua Jenderal Didakwa Terima Miliaran dari Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo 'Potek' Jatah Napoleon

Dua Jenderal Didakwa Terima Miliaran dari Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo 'Potek' Jatah Napoleon

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap miliaran rupiah dari Djoko Tjandra terkait upaya membantu pengurusan penghapusan nama buron kasus cessie (hak tagih) Bank Bali itu dari Daftar Pencarian Orang (DPO).

Dalam usahanya itu, Prasetijo meminta 'jatah' suap (persenan) karena ikut membantu menghapus nama Djoko Tjandra dari buronan Interpol.

Ia bahkan sempat "memotong" jatah suap yang seharusnya diperuntukkan bagi Irjen Napoleon Bonaparte yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri.

Hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan surat dakwaan untuk Brigjen Prasetijo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (2/11/2020).

Dalam dakwaannya itu, Jaksa membeberkan peran Brigjen Prasetijo sebagai pihak yang mengenalkan Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon Bonaparte sebagai Kadivhubinter Polri.

Tommy sendiri merupakan rekanan Djoko Tjandra yang dimintai bantuan untuk mengurus tentang penghapusan red notice Interpol dan status Djoko Tjandra sebagai DPO.

Tak hanya mengenalkan Tommy kepada Napoleon, Brigjen Prasetijo disebut juga pernah memerintahkan anak buahnya untuk mengedit surat permohonan penghapusan red notice yang ada di Divhubinter Polri dari istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran.

"Untuk mewujudkan keinginan Joko Soegiarto Tjandra, pada tanggal 9 April 2020, Tommy Sumardi mengirimkan pesan melalui whatsapp berisi file surat dari saudara Anna Boentaran istri Joko Soegiarto Tjandra yang kemudian terdakwa Brigjen Prasetijo meneruskan file tersebut kepada Brigadir Fortes, dan memerintahkan Brigadir Fortes untuk mengeditnya sesuai format permohonan penghapusan red notice yang ada di Divhubinter."

"Setelah selesai diedit Brigadir Fortes mengirimkan kembali file tersebut untuk dikoreksi Brigjen Prasetijo, yang selanjutnya file konsep surat tersebut dikirimkan oleh Brigjen Prasetijo kepada Tommy Sumardi," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan.

Setelah itu barulah Brigjen Prasetijo mengenalkan Tommy pada Irjen Napoleon.

Dalam pertemuan itu, Napoleon mengatakan red notice Djoko Tjandra bisa dibuka asal disiapkan uang Rp 3 miliar.

"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Irjen Napoleon menyampaikan bahwa 'red notice Joko Soegiarto Tjandra bisa dibuka karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya'. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa nominal uangnya dan oleh Irjen Napoleon dijawab '3 lah ji (Rp 3 miliar)," kata jaksa.

Usai pertemuan itu, Tommy menghubungi Djoko Tjandra yang saat itu berada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Djoko lantas mengirimkan uang 100 ribu dolar AS kepada Tommy melalui sekretarisnya bernama Nurmawan Francisca.

Tommy yang ditemani Brigjen Prasetijo lantas menyerahkan uang itu ke Napoleon.

Namun di perjalanan melihat uang yang dibawa Tommy, Prasetijo meminta agar uang itu dibagi dua untuk dirinya.

"Di dalam mobil Prasetijo berujar, 'Banyak banget ini Ji buat beliau? Buat gw mana?'" ujar jaksa menirukan ucapan Prasetijo.

Uang itu kemudian dibelah dua oleh Prasetijo sambil mengatakan, "Ini buat gw, nah ini buat beliau (Napoleon)," sembari menunjukkan uang yang sudah dibagi dua.

Alhasil Tommy 'hanya' membawa 50 ribu dolar AS untuk Napoleon. Uang itu pada akhirnya ditolak Napoleon.

"Tommy Sumardi menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak 50 ribu dolar AS, namun Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'ini apaan nih segini, nggak mau saya. Naik ji jadi 7 ji, soalnya kan buat depan juga bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'. Selanjutnya sekira pukul 16.02 WIB Tommy Sumardi dan Brigjen Prasetijo dengan membawa paper bag warna gelap meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri," tutur jaksa.

Keesokan harinya Tommy Sumardi memberikan uang secara bertahap ke Napoleon yang totalnya yaitu SGD 200 ribu dan USD 270 ribu.

Irjen Napoleon pun memproses penghapusan red notice Interpol dan DPO Djoko Tjandra dalam hitungan hari.

Setelah semuanya beres, Brigjen Prasetijo ternyata sempat menelepon Tommy Sumardi. Jaksa menyebut sambungan telepon itu berkaitan dengan 'jatah'.

"Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo menghubungi Tommy Sumardi melalui sarana telepon dengan mengatakan, 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana'," tutur jaksa.

"Dan keesokan harinya Tommy Sumardi bertemu dengan Brigjen Prasetijo Utomo di ruangan kantornya, dan Tommy Sumardi memberikan uang sejumlah USD 50 ribu," sambungnya.

Secara keseleruhan Prasetijo didakwa menerima suap sebesar US$150 ribu atau sekitar Rp 2,1 miliar agar menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar buronan.

"Brigjen Pol Prasetijo Utomo menerima uang sejumlah US$150 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi," kata jaksa.

Adapun Irjen Napoleon didakwa menerima suap sebesar SGD200 ribu atau sekitar Rp 2.145.743.167 dan US$270 ribu atau sekitar Rp 3.961.424.528 dari Djoko Tjandra.

Suap total sekitar Rp 6 miliar itu dimaksudkan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktrorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa uang suap untuk Irjen Napoleon itu diserahkan dalam 4 kali pemberian yang dilakukan di Ruang Kadvihubinter di lantai 11 Gedung TNCC Mabes Polri.

Atas penerimaan uang tersebut, Irjen Napoleon memerintahkan anak buahnya membuat 3 surat yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi, yakni tertanggal 29 April 2020, 4 Mei 2020, dan 5 Mei 2020. Surat ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.

Surat pertama pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database Daftar Pencarian Orang (DPO) yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7.

Terkait hal itu, melalui surat tersebut juga diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri pada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Surat kedua perihal pembaharuan data Interpol Red Notice.

Isinya menyampaikan adanya penghapusan Interpol Red Notice. Surat ketiga menginformasikan bahwa Interpol Red Notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dalam sistem basis data Interpol sejak 2014 (setelah 5 tahun).

8 Mei Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Tommy Aria Dwianto menerbitkan surat Divisi Hubungan Internasional Polri untuk istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran.

Isinya menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan hasil bahwa Djoko Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek Red Notice ICPO Interpol, Lyon, Prancis.

Atas surat-surat tersebut, Ditjen Imigrasi menghapus status DPO Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System pada Sistem Informasi Keimigrasian pada 13 Mei 2020.

Penghapusan itu kemudian dimanfaatkan Djoko Tjandra untuk masuk ke Indonesia pada Juni 2020.

Ia kemudian mendaftarkan Peninjauan Kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saat itu, Djoko Tjandra sedang dalam pelarian menghindari hukuman 2 tahun penjara karena kasus Bank Bali.

Ia kabur ke luar negeri sejak 2009.

Atas perbuatannya itu baik Irjen Napoleon maupun Brigjen Prasetijo sama-sama didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b, atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Atas dakwaan jaksa itu, Napoleon menyatakan bakal mengajukan eksepsi atau nota keberatan.

"Kami tim penasihat hukum Irjen Pol Napoleon Bonaparte akan ajukan eksepsi. Mohon izin kasih waktu 1 minggu Yang Mulia," ujar penasihat hukum Napoleon, Santrawan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Sementara Napoleon mengaku memahami dakwaan yang telah dibacakan jaksa. Ia berjanji akan terang-terangan selama menjalani persidangan ke depan.

"Terima kasih saya mengerti apa yang didakwakan tetapi kebenaran sejati dalam sidang akan kami buktikan di persidangan," ucapnya.

Sebaliknya Brigjen Prasetijo melalui kuasa hukumnya menyatakan tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi.

"Setelah kami berkoordinasi dengan klien kami, kami tidak mengajukan eksepsi," ujar pengacara Prasetijo.[tn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita