Tolak UU Cipta Kerja, PB PMII: DPR dan Pemerintah Hanya Fasilitasi Korporasi dan Oligarki

Tolak UU Cipta Kerja, PB PMII: DPR dan Pemerintah Hanya Fasilitasi Korporasi dan Oligarki

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pengesahan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang dilakukan oleh DPR RI dan pemerintah telah melenceng dari tujuan pemulihan ekonomi yang sebelumnya kerap digaungkan.

"Dengan adanya UU Cipta Kerja, DPR dan pemerintah telah memfasilitasi kepentingan monopoli ekonomi korporasi dan oligarki yang dilegalkan UU tersebut, bukan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional," kata Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Agus Mulyono Herlambang, Selasa (6/10).

Atas dasar itu, PB PMII dengan tegas menolak pengesahan RUU sapu jagad tersebut menjadi undang-undang. Bahkan pihaknya mengaku tak segan-segan untuk menginstruksikan PMII di seluruh Indonesia untuk melakukan aksi penolakan meski di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan.

Hal itu dinilai wajar mengingat sikap wakil rakyat juga abai dengan melakukan pengesahan UU Cipta Kerja secara diam-diam dan dadakan. “PB PMII tidak takut untuk menginstruksikan PMII Se-Indonesia untuk melaksanakan aksi,” lanjutnya.

Meski secara otomatis akan tetap menjadi UU tanpa tanda tangan presiden sekalipun, ia masih berharap Presiden Joko Widodo juga satu napas dengan rakyat yang menolak UU tersebut.

Agus berpendapat, UU Cipta Kerja tidak mencerminkan pemerintahan yang baik. Sebab dalam pembentukannya saja sudah main kucing-kucingan dengan rakyat, hal ini dikhawatirkan akan lebih buruk saat melaksanakan UU Cipta Kerja.

“Tentu, PB PMII akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, sebab sebelumnya PB PMII pun pernah melakukan uji materi UU MD3 ke MK. Maka, tidak segan-segan PB PMII melakukan uji materi UU Cipta Kerja,” kata dia.

Berikut poin-poin penolakan subtansi PB PMII terhadap UU Cipta Kerja:

1. PB PMII Kecewa karena DPR dan pemerintah tidak peka terhadap kesengsaraan rakyat di tengah pandemi Covid-19 dan tidak fokus untuk mengurus dan menyelesaikan persoalan Covid-19, justru membuat regulasi yang merugikan buruh dan rakyat. Tetapi, justru membuat regulasi yang menguntungkan para investor dan pengusaha.

2. DPR dan pemerintah telah memfasilitasi kepentingan monopoli ekonomi korporasi dan oligarki yang dilegalkan dalam UU Cipta Kerja, dengan dalil mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

3. Proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak partisipatif dan eksklusif. Seharusnya, proses pembuatannya dilakukan dengan para pekerja untuk menyerap aspirasi pihak pekerja yang diatur. Proses pembentukannya melanggar prinsip kedaulatan rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan tidak mencerminkan asas keterbukaan sesuai Pasal 5 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Terlebih, pembentukan dan pengesahannya dilakukan di tengah pandemi Covid-19. 

4. PB PMII merasa UU Cipta Kerja tidak menjamin kepastian hukum dan menjauhkan dari cita-cita reformasi regulasi. Sebab, pemerintah dan DPR berkilah bahwa RUU Cipta Kerja akan memangkas banyak aturan yang dinilai over regulated. Namun, faktanya akan banyak pendelegasian pengaturan lebih lanjut pada peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah (PP) yang justru dikhawatirkan akan memakan waktu lama, menghambat pelaksanaan kegiatan yang ada di dalam UU Cipta Kerja.

5. DPR dan pemerintah tidak pro terhadap rakyat kecil khsusunya buruh, sebab terdapat beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial yang ada di dalam Bab IV Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, yakni Pasal 59 terkait kontrak tanpa batas; Pasal 79 hari libur dipangkas; Pasal 88 mengubah terkait pengupahan pekerja; Pasal 91 aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja; Pasal 169 UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja atau buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK), jika merasa dirugikan oleh perusahaan;.

6. PB PMII merasa miris DPR dan pemerintah akan memperkecil kemungkinan pekerja WNI untuk bekerja karena UU Cipta Kerja mengapus kewajiban menaati ketentuan jabatan dan kompetensi bagi para Tenaga Kerja Asing (TKA). Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, TKA akan lebih mudah masuk karena perusahaan yang mensponsori TKA hanya membutuhkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), tanpa izin lainnya.

7. UU Cipta Kerja tidak mencerminkan pemerintahan yang baik (good governance). Sebab, dalam pembentukannya saja sudah main kucing-kucingan dengan rakyat, apalagi nantinya saat melaksanakan UU Cipta Kerja, bisa jadi rakyat akan di akal-akali dengan UU Cipta Kerja.

8. PB PMII sangat kecewa UU Cipta Kerja menghilangkan poin keberatan rakyat mengajukan gugatan ke PTUN apabila perusahaan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan tanpa disertai Amdal. Sangat jelas DPR dan pemerintah berpihak pada kepentingan korporasi dan oligarki tanpa peduli terhadap kerusakan lingkungan dan kehidupan rakyat. Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni mensejahterakan rakyat.

9. PB PMII juga kecewa DPR dan Pemerintah mengkapitalisasi sektor pendidikan dengan memasukan aturan pelaksanaan perizinan sektor pendidikan melalui perizinan berusaha dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Hal ini termuat dalam Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU Cipta Kerja.

Berkenaan dengan persoalan tersebut, PB PMII membuka posko pengaduan UU Cipta Kerja di Kantor PB PMII Jalan Salemba Tengah No. 57 A untuk rakyat yang ingin menolak dan juga merasa dirugikan dengan UU Cipta Kerja. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita